Kemenangan Besar – Israel mengatakan, kematian Asy-Syahid, Yahya Sinwar pada 18 Oktober 2024 lalu sebagai tonggak “kemunduran pemerintahan Hamas”. Bahkan Netanyahu, dalam siaran pers-nya mengatakan jika Yahya Sinwar “tewas saat melarikan diri dengan panik dari tentara kita”. Bahkan sebelumnya, Israel sempat mengatakan jika Yahya Sinwar jauh dari medan tempur, di ruangan ber-AC atau bersembunyi di terowongan-terowongan. Justru, berkat video yang mereka rilis pada publik, membantahnya dengan keras.
Sebuah video menunjukkan detik-detik terakhir Yahya Sinwar di sebuah apartemen yang rusak akibat serangan Israel. Wajahnya tertutup Kefiyeh, dengan sebelah tangan yang terluka, di detik-detik terakhirnya, dia masih melakukan perlawanan dengan berusaha melempar drone zionis Israel dengan sebilah kayu. Sebagai pemimpin tertinggi, ia tegap di garis depan, terlibat baku tembak dan terluka, hingga akhirnya ia mendapati apa yang ia cita-citakan.
Video tersebut, bisa jadi, dimaksudkan sebagai sarana untuk menakut-nakuti pejuang kemerdekaan di Palestina, namun yang terjadi justru sebaliknya. Semangat dan kebanggan justru tumbuh kian subur pada dada warga Gaza, Palestina. Inilah kemenangan Yahya Sinwar yang pertama. “Mereka bilang dia bersembunyi di terowongan, bahkan menggunakan sandera Israel di dekatnya untuk melindungi dirinya,” ujar Ibu empat anak, Rasha “kemarin, kami melihat dia memburu tentara Israel di Rafah, tempat pendudukan sudah beroperasi sejak Mei.”
“Begitulah cara para pemimpin bertindak, dengan senapan di tangan. Saya mendukung Sinwar sebagai seorang pemimpin dan hari ini saya bangga padanya sebagai seorang martir,” tambahnya.
Termasuk warga Gaza yang sebenarnya tidak mendukung serangan 7 Oktober 2023 lalu, lantaran ia percaya warga Palestina belum siap berperang habis-habisan. Namun, berkat video cara wafatnya Yahya Sinwar malah membuatnya bangga sebagai warga Palestina dan mengatakan jika Yahya Sinwar wafat sebagai “pahlawan”.
“Ia meninggal dengan mengenakan rompi militer, bertempur dengan senapan dan granat, kemudian ketika ia terluka dan berdarah, ia tak menyerah dan bertempur menggunakan tongkat. Beginilah cara para pahlawan meninggal,” kata Adel Rajab, 60 tahun, seorang ayah dua anak di Gaza,” ujarnya. Sebagaimana dikutip oleh voaindonesia.com.
Warga Gaza lainnya bahkan mengaku sudah menontonnya 30 kali sejak ia mendapatkan video proses wafatnya Yahya Sinwar. “Saya telah menonton video itu 30 kali sejak tadi malam, tidak ada cara yang lebih baik untuk meninggal,” kata Ali, seorang pengemudi taksi berusia 30 tahun di Gaza, seraya melanjutkan, “Saya akan menjadikan video ini sebagai tugas harian untuk ditonton demi anak-anak saya, dan cucu-cucu saya di masa mendatang,”
Pantaslah jika para pejuang kemerdekaan Palestina mengatakan, “jika Sinwar meninggalkan medang perang (meninggal dunia), Palestina akan melahirkan seribu Sinwar”
Selanjutnya, melalui peristiwa ini, artinya Yahya Sinwar sukses mendapatkan apa yang dicita-citakannya, yakni mati sebagai syuhada di tangan musuh. Sebagaimana yang ia sampaikan dalam pidato terakhirnya, bahwa mati di tangan zionis Israel itu lebih ia sukai dibandingkan meninggal karena serangan jantung atau kecelakaan mobil. Penggalan ini pula yang sering disebarkan pada sesama warga Palestina lewat platform daring.
“Hadiah terbaik yang dapat diberikan musuh dan penjajah pada saya adalah membunuh saya sehingga saya akan menjadi martir (syahid) di tangan mereka,” katanya.
Hidup Mulia dan Mati Syahid
Dalam risalah perjuangan umat ini, lazim kita temukan slogan, “Hidup Mulia atau Mati Sebagai Syuhada” atau ‘isy kariiman au mut syahiidan”. Beruntungnya Yahya Sinwar, keputusannya berada di garis depan justru menjadikannya mulia di mata makhluk Allah Swt. Direndahkan oleh musuh, justru dimuliakan oleh Allah Swt. di hadapan makhluk-makhluk-Nya. Luar biasanya, Allah Swt. mengangkatnya justru lewat tangan-tangan musuh-Nya.
Sebelum berpulang, ia telah berada di medan tempur selama delapan belas hari. Ia mengenakan pakaian militer, termasuk rompi, granat, amunisi, dan menenteng senapan serbu. Padahal, sebagai kepala Biro Politik Hamas (gerakan kemerdekaan Palestina), ia disarankan berada di luar medan tempur. Namun, ia menolak dan bersikeras tetap berada di garis depan.
“Dia tidak ingin menjauh dari medan perang, dia ingin mati dalam pertempuran. Dia telah bertempur melawan Israel di Rafah selama 18 hari dan terlibat dalam pertempuran dengan empat rekannya pada hari kematiannya, sebuah pertempuran yang berlangsung sekitar dua jam,” kata Al Mayadeen, sebagaimana dikutip oleh satu.tempo.co.
“Jihad” arti umumnya adalah “bersungguh-sungguh”. Para ulama mengatakan bahwa nilai jihad itu bertingkat-tingkat. Mereka yang begadang mengerjakan tugas kuliah itu jihad. Mereka yang membangun bisnis untuk keluarga dan kebermanfaatan orang banyak pun sama, jihad. Termasuk ibu yang sedang melahirkan. Karenanya, mereka yang meninggal dalam kondisi sedang mencari ilmu, mencari nafkah, pun melahirkan dapat dikatakan sebagai “syahid”. Hanya, perang di jalan Allah Swt. demi menjaga harkat-martabat agamanya itu merupakan jihad paling tinggi. “Hidup Mulia atau Mati Syahid” adalah slogan untuk memotivasi diri para pejuang di jalan Allah Swt. Dasar dari slogan ini dikatakan bersumber dari salah satu satu hadits Rasulullah Saw.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: رَأَى عَلَى عُمَرَ قَمِيصًا أَبْيَضَ فَقَالَ: (ثَوْبُكَ هَذَا غَسِيلٌ أَمْ جَدِيدٌ؟) قَالَ: لَا، بَلْ غَسِيلٌ. قَالَ: ( الْبَسْ جَدِيدًا، وَعِشْ حَمِيدًا، وَمُتْ شَهِيدًا
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. melihat Umar memakai pakaian putih lalu beliau bersabda padanya: “Pakaianmu ini lama atau baru?” (Umar menjawab) “Sudah lama.” Beliau bersabda : “Pakailah yang baru, hiduplah terpuji, dan matinya dalam keadaan syahid). (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan At-Thabrani)
Ketika seseorang bersungguh-sungguh mencari ilmu, ikhlas karena Allah Swt. serta tidak melampaui batas, sejatinya ia sedang membangun “tangga” menuju puncak kemuliaan. Termasuk mereka yang mencari nafkah, meniti karir, berbisnis, atau melahirkan dan membesarkan anak. Semua upaya tersebut akan membawanya pada kemuliaan. Hanya, jika di dalam jiwanya terpatri cita-cita mati sebagai syuhada, maka akan terbuka pintu kemenangan lainnya. Itulah “hidup mulia atau mati syahid”.
Yahya Sinwar tentu boleh memilih berada jauh di medan perang dan ia punya alasan untuk itu. Namun, kita perlu memahami, pada dasarnya, pada kondisi seperti saat ini, siapapun yang berusaha melawan penjajah Israel, dia akan menjadi target utama, di manapun mereka berada. Layaknya Ismail Haniya. Ia berada jauh dari Gaza, namun tetap saja ia tak lepas dari rudal-rudal musuh. Yahya Sinwar memilih cara yang ia sukai dan kuasai. Hikmahnya, cara tersebut justru membungkam fitnah yang dilancarkan musuh.
Mau di manapun berada, para pejuang yang menjadikan pemadaman kezhaliman di muka bumi, mengakkan nilai-nilai ilahi di muka bumi, takkan lepas dari kedengkian musuhnya. Artinya, di manapun berada, sejatinya mereka ada di garis depan. Sembari mereka berjuang demi kemuliaan diri di hadapan-Nya, mereka pun menunggu-nunggu “giliran” untuk Allah Swt. panggil ke sisi-Nya. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an, surat Al-Ahzab ayat 23.
مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوْا مَا عَاهَدُوا اللّٰهَ عَلَيْهِ ۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ قَضٰى نَحْبَهٗۙ وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّنْتَظِرُ ۖوَمَا بَدَّلُوْا تَبْدِيْلًاۙ
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati janji mereka kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur, ada pula yang menunggu-nunggu. Mereka tidak mengubah janjinya sedikit pun,
Yahya Sinwar telah menunjukkan kesungguhan dirinya melawan penjajahan, memperjuangkan kemerdekaan negerinya. Di saat bersamaan, ia juga menunjukkan kesungguhannya menginginkan pahala syahid dengan cara yang ia sukai. Maka, Allah Swt. mengabulkannya. Mari berjuang di ranah yang kita mampu, apakah sebagai pelajar, sebagai pegawai, sebagai pebisnis, sebagai ibu. Jadilah yang terdepan, bersungguh-sungguhlah meraihnya dan bersungguh-sungguh pula-lah mengharapkan pahala syahid. Dengan begitu, tidak ada kerugian sama sekali, malah sama-sama akan beruntung.