Kemenangan Besar – Dalam pidatonya, di sidang PBB 27 September 2024 lalu, Netanyahu mengatakan untuk kesekian kalinya, apa yang mereka perbuat hari ini adalah upaya melawan terorisme. Pelaku terorisme yang mereka maksud adalah pejuang kemerdekaan Palestina. Narasi tersebut, konsisten selalu berlandaskan “serangan 7 Oktober 2023” lalu. Padahal, “serangan” 7 Oktober yang dilakukan pejuang kemerdekaan Palestina merupakan perlawanan. Hanya, kita semua sulit untuk melihatnya, lantaran “kabut” sejarah yang disebarkan melalui media massa.
Dalam pidatonya yang didokumentasikan oleh gadebate.un.org, Netanyahu mengatakan bahwa tahun lalu merupakan momen di mana normalisasi Arab-Israel hampir saja terjadi. Dalam hal ini, apa yang Netanyahu katakan benar adanya. Hanya, yang patut kita cermati adalah kalimat yang ia pilih untuk mendasarinya, yakni “Israel mencari kedamaian”. Kemudian, Netanyahu mengatakan, di tangah upaya menari kedamaian tersebut, datanglah serangan “teroris Hamas” dengan dukungan dari Iran. Narasi tersebut, kemudian dilengkapi dengan pembunuhan 1.200 orang, pemerkosaan perempuan, pemenggalan orang, pembakaran bayi, “penculikan” 251 orang, dan seterusnya.
Apakah Anda percaya?
Begitulah orang-orang yang di hatinya terdapat penyakit, penuh iri dengki. Mereka memposisikan diri sebagai korban, kemudian meminta simpati pada orang lain, padahal mereka sendir pelakunya. Ibarat orang yang kentut, kemudian tanpa malu menuduh orang lain yang jadi pelakunya. Hanya, Zionis melakukannya dalam skala yang masif. Ketika banyak orang mengutuk apa yang mereka lakukan, mereka justru berkelit dengan lisan-nya yang fasih, bahwa mereka justru “berbuat kebaikan”. Dalam hal ini, Al-Qur’an sejatinya sudah memberikan kita isyarat soal mereka. Yakni dalam Surat Al-Baqarah ayat 11. Allah Swt. berfirman,
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ
Apabila dikatakan kepada mereka, “Jangan berbuat kerusakan di bumi!” Mereka menjawab, “Justru kami orang-orang yang melakukan perbaikan.”
Para ahli komunikasi mengatakan, “jika kamu ingin kebohonganmu tak terlihat, campurlah ia dengan fakta-fakta yang benar”. Itulah yang Netanyahu lakukan. Yakni mencapuradukkan kebohongan dengan kebenaran sehingga apa yang ia katakan seolah-olah benar.
Salah satu yang menjadi basis argumen Netanyahu selalu diulang-ulang “serangan 7 Oktober” sebagai pemicu. Padahal, benarkah “serangan itu baru dimulai 7 Oktober”? Memang benar, perang skala besar yang kemudian melibatkan seluruh dunia adalah serangan 7 Oktober. Namun, yang harus kita pahami, serangan pejuang kemerdekaan pada tanggal tersebut sejatinya merupakan puncak perjuangan, yang merupakan rangkaian respon mereka terhadap perlakuan Zionis Israel. Jika kita memahami, bahwa peperangan ini baru dimulai sejak 7 Oktober, akan terjadi pemahaman yang keliru.
Tanpa adanya konteks sejarah yang melatarbelakangi “serangan” 7 Oktober, orang akan sulit mendefinisikan “penjajahan”, dalam hal ini apa yang sebenarnya dilakukan oleh Zionis Israel. Akan menjadi wajar, jika Anda memahami bahwa, serangan Hamas (pejuang kemerdekaan Palestina) sebagai serangan teroris yang mengganggu upaya normalisasi hubungan baik antara Israel dan negara-negara Arab.
“Kurangnya pemahaman konteks sejarah ini mengakibatkan orang-orang bingung tentang aspek-aspek dasar ‘konflik’, di antaranya kewarganegaraan para pemukim (ilegal; Zionis) dan arti pendudukan. Hal ini, dapat berakhir pada sulitnya menyimpulkan soal bagaimana ‘konflik’ Israel-Palestina harus diakhiri,” kata Dosen di Sekolah Jurnalisme, Media, dan Studi Budaya Universitas Cardiff, Mike Berry.
Berry telah mendokumentasikan perbedaan cara media Barat melaporkan korban Israel dan Palestina, yakni dalam hal penggunaan istilah dan penyajian konteks sejarah.
“Penelitian awal tentang liputan berita sejak 7 Oktober 2023 menunjukkan, kata-kata emosional tertentu seperti ‘pembunuhan’, ‘pembantaian’, dan ‘kekejaman’ sering digunakan oleh jurnalis sendiri untuk menggambarkan kematian warga Israel, tetapi hampir tidak pernah digunakan untuk menggambarkan kematian warga Palestina,” katanya.
Berry juga mengatakan, Media Barat memberitakan amat sedikit konteks sejarah yang melatarbelakangi serangan oleh kelompok pejuang kemerdekaan Palestina. Beberapa di antaranya, blokade Gaza selama 17 tahun atau pendudukan Israel selama 57 tahun di tanah Palestina.
Sikap Pro Israel dalam Berita
Dalam hal ini, kita tak dapat mengatakan kalau media melakukan kebohongan. Namun, di sini kita melihat keberpihakan yang tersirat dalam berita yang dibuat oleh media. Dalam kajian media, kita dapat menemukan metode “framing”. Menurut Alex Sobur dalam bukunya “Analisis Teks Media (2015) mentakan, “framing” merupakan teknik penyajian realitas yang tidak dimanipulasi seluruhnya, namun hanya dibelokan secara halus, dengan menonjolkan sebagian realita atau selektif terhadap realita lainnya.
Dalam hal ini, media “menonjolkan” realita bahwa apa yang terjadi di Palestina saat ini adalah implikasi “serangan Hamas” pada 7 Oktober dan apa yang dilakukan Israel adalah respon atasnya. Dengan framing tersebut, wajar jika publik kemudian menyangka, jika serangan-serangan yang Zionis lakukan di Palestina hingga hari ini “wajar”, bahkan bernilai sebagai upaya menegakkan kebenaran, melawan kezaliman teroris. Selain itu, media “selektif” mengungkapkan realita sejarah panjang di balik serangan 7 Oktober tersebut dan implikasi dari normalisasi hubungan Israel dan Arab pada masyarakat Palestina. Padahal, kedua hal tersebut juga merupakan realita, dalam hal ini menjadi latar belakang momen “penyerangan” oleh pejuang kemerdekaan Palestina.
Anadolu Agency, menemukan jika beberapa media Barat terlihat menunjukkan dukungannya pada Israel dengan melakukan teknik framing ini. Misalnya, surat kabar Inggris, Guardian menggambarkan serangan Israel terhadap Gaza sebagai “operasi militer”, sedangkan tindakan pejuang kemerdekaan Palestina, Hamas sebagai “serangan teroris”. Secara makna, operasi militer adalah operasi bersenjata yang dilakukan sebagai respon terhadap tindakan kejahatan. Sedangkan, “serangan teroris” adalah serangan yang mengganggu dan menimbulkan keonaran.
Selain itu, penyiaran pemerintah Jerman Deutche Welle (DW), dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Tindakan apa saya yang dianggap sebagai kejatahan perang?” menyatakan serangan Isreal tidak termasuk lingkup kejahatan perang. Sementara BBC dan CNN menyebut warga Israel yang mati dengan “terbunuh” dan warga Palestina “Mati”, seolah-olah warga Israel yang mati itu “korban” sedangkan warga Palestina meninggal dunia sebagaimana mestinya.
Sementara BBC menggambarkan konflik Israel-Palestina sebagai “perselisihan bilateral” alias setara dan jarang menekankan fakta penjajahan. Kemudian, BBC juga mendeskripsikan pemukiman Israel di Tepi Barat dengan wilayah yang disengkatakan dan tidak menyebutkan fakta pemukiman tersebut ilegal menurut Hukum Internasional. Padahal, sejarah mencatat, Zionis Israel adalah pihak yang merebut tanah milik warga Palestina dengan cara paksa sejak 57 tahun lalu.
Dalam proses mem-framing ini, organisasi melibatkan para pengambil keputusan di dalamnya. Bahkan sampai mengorbankan wartawan demi melindungi “keamanan” bisnis dan politiknya. Misalnya, salah seorang reporter BBC dipecat lantaran postingan di media sosialnya menyiratkan dukungan pada Palestina. Kemudian, Deutsche Welle memecat karyawannya yang mengritik tindakan Israel.
Belum lagi pembredelan media Al Jazeera di Tepi Barat, Palestina. Mengutip kabar24.bisnis.com, bersenjata lengkap menyerbu biro jaringan Al Jazeera di tepi Barat dan meminta kepala biro Walid al-Omari menutupnya. Bahkan mereka mengusir semua orang yang bekerja pada shift malam di biro tersebut dan memberi tahu para jurnalisnya pergi dengan hanya membawa barang milik pribadi, padahal biro tersebut termasuk dalam wilayah Palestina berdasarkan perjanjian Oslo.
Melihat framing yang dilakukan oleh media tersebut, para pemuda Palestina kemudian meluncurkan gerakan “We Are Not Numbers” agar kita tak terjebak pada pandangan “korban Palestina sebatas angka”.
Selanjutnya, bagi kita, agar kita tidak terjebak pada framing media, hendaknya kita mencari tahu sejarah utuh apa yang sebenarnya terjadi di Palestina. Ketahuilah, Israel selalu menyandarkan apa yang mereka lakukan pada peristiwa sejarah. Mereka yakin, bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan bagi mereka. Kembali ke pidato Netanyahu, yang menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan saat ini dalam rangka mewujudkan janji (Nabi) Musa (As.) yang mengatakan Palestina sebagai negeri yang dijanjikan bagi mereka.
Dalam hal ini, bahkan Allah Swt. yang langsung membantahnya, bahwa mereka tak mau ikut dengan Nabi Musa As. dan Nabi Harun As. memperjuangkannya, bahkan dengan kurang ajarnya mereka mengetakan pada Nabi Musan As. dan Nabi Harun As. agar berperang bertiga (“bersama Tuhamu”) dan mereka hanya duduk-duduk. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an, surat Al-Maidah ayat 24,
قَالُوْا يٰمُوْسٰٓى اِنَّا لَنْ نَّدْخُلَهَآ اَبَدًا مَّا دَامُوْا فِيْهَا ۖفَاذْهَبْ اَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَآ اِنَّا هٰهُنَا قٰعِدُوْنَ
Mereka berkata, “Hai, Musa! Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya. Oleh karena itu, pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami menanti saja di sini.”
Pada dasarnya, Al-Qur’an banyak membahas tentang sejarah dan watak orang-orang Yahudi atau Bani Israil secara keseluruhan. Mereka sebagai “Yahudi” disebut sebanyak 22 kali dalam 21 ayat Ayat Al-Qur’an dan disebut sebanyak 42 kali dalam 17 surat Al-Qur’an sebagai bani Israil. Semua itu adalah informasi valid mengenai sejarah dan karakter mereka. Semuanya dapat menjadi sanggahan atas klaim mereka, sekaligus mengetahui pola pikir mereka yang mendarah daging sampai hari ini. Kalau kita sampai terkecoh oleh framing mereka, mungkin kita perlu lebih banyak membaca Al-Qur’an.
Selain itu, sebagai sumber informasi ter-update, silahkan ikuti akun-akun media sosial milik warga Gaza. Anda akan mendapatkan POV original mereka sehingga menghindarkan kita dari melihat mereka sebatas angka.
Mari tingkatkan kesadaran kita sehingga tak mudah menyerah dalam perjuangan bersama warga Palestina. Pun, sebagai upaya agar kita punya sedikit saham perjuangan dalam menumpas kezaliman yang dilakukan ZIonis Israel sekaligus membela kemerdekaan di Palestina. Bahkan, sebagai warga negara Indonesia, membela Palestina, artinya kita memenuhi amanah konstitusi negara, UUD 1945.