Kemenangan Besar – Meski harus menyaksikan sekaligus terancam pembunuhan dengan cara-cara yang mengerikan, tak mampu membuat masyarakat Gaza takluk dengan rasa takutnya. Bahkan, mereka mampu memberi kita contoh pada kita arti “hakikat” kreativitas, yang lahir dari ketentraman jiwa sehingga melahirkan harapan yang tak pernah padam akan kemerdekaan dari di masa depan. Akibatnya, penjajah Israel bukan saja boncos, tapi mengalami “pendarahan”.
Sebagaimana kita dapat temui di berbagai macam media, penjajah Israel banyak berlindung di balik frasa “menghancurkan sarang teroris” saat mereka membombardir Gaza. Namun kini, mereka tak terlalu banyak mengulanginya, bahkan kita dapat menemukan, dengan terang-terangan mereka melakukan “live” di media sosial saat melakukan pembunuhan. Dalam kesempatan lain, mereka menyebarkan video diri mereka yang sedang menghina Al-Qur’an, menyia-nyiakan makanan, bahkan Menteri Keuangan (penjajah) Israel, Bezalel Smotrich, mengungkap niat mereka yang sebenarnya di depan publik, yakni ingin membantai setengah populasi Gaza.
Belakangan, kita juga dapat menemukan terungkapnya fakta-fakta pelanggaran Hukum Internasional oleh penjajah Israel tanpa ada pembelaan. Pelanggaran tersebut yakni berupa penggunaan bom yang dapat menguapkan tubuh korbannya hingga menghilang. Bisa jadi, mereka “merasa aman” dengan apa yang mereka perbuat, “nyatanya tak ada yang bisa menghentikan perbuatan mereka”. Namun, di sisi lain, kita juga dapat artikan kalau mereka ingin meningkatkan teror bagi orang-orang Palestina khususnya, pun untuk orang-orang di luar Palestina.
Namun, menghadapi teror semengerikan itu, masyarakat Gaza masih dapat menunjukkan kalau mereka “tak takut” tetap hidup. Mereka memang mencintai kematian karena pahala syahid, namun kalau pun mereka tetap hidup dan harus menghadapi teror, mereka tetap berani. Mereka tetap tegak dan tak pasrah atau menyerah pada penjajah Israel. Nampaknya, orang-orang Palestina paham betul watak orang Yahudi, khususnya penjajah Israel. Mereka tahu, pasrah pun tak berarti akan menghentikan perilaku kejam mereka lantaran kebencian yang terlalu dalam tertanam dalam sanubari.
Bagaimana para penjajah Israel ini tak membenci orang Palestina, sedangkan para pemimpinnya menyuntikkan kebencian itu sejak kanak-kanak. Mereka diberikan cerita-cerita yang membangun citra kalau orang Palestina itu “Nazi-nya zaman ini”. Belum lagi, kita juga dapat menemukannya dalam ragam media, kalau dalam kitab Talmud, ada pasal-pasal yang mengajarkan kalau orang di luar Yahudi itu tak lebih dari binatang ternak. Pantas saja, anak-anak saja sudah begitu bencinya pada orang Palestina. Terlihat dari antusiasnya anak-anak sekolah Israel menyaksikan “hasil karya” tentara penjajah di Beit Lahiya, di mana 72 orang Palestina terbunuh karena bom. Artinya, tak mungkin ada rasa kasihan pada orang Palestina. Artinya, tak ada jalan lain, kecuali “ke depan”, menghadang laju Israel.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin orang-orang Palestina ini bisa bertahan apalagi menang melawan Israel? Sedangkan persenjataan yang Israel miliki adalah senjata-senjata paling mutakhir. Bom dengan daya ledak yang menggetarkan bumi setara gempa bumi, ada. Bom yang bisa memotong-motong tubuh, ada. Bom yang bisa melelehkan tubuh korban, juga ada. Semua itu merupakan peluru kendali, yang bisa diarahkan pada sasaran spesifik.
Salah satu senjata orang-orang Palestina, dalam hal ini adalah “ngeyel”.
Ngeyel
Bayangkan kamu ada di posisi tak punya uang sepeserpun, untuk makan pun harus mengantri berjam-jam, plus tak ada orang yang bantu. Kalau kamu ada di posisi itu dan “tak berkutik”, wajar bukan? Namun, tidak dengan masyarakat Gaza. Mereka begitu yakin dengan pertolongan dan janji Allah Swt, baik ketika takdir mempertemukan mereka dengan maut atau harus tetap hidup.
Ketika seseorang punya kekuatan, apakah berupa harta atau berupa senjata, wajar jika seseorang bisa percaya diri. Orang Palestina memang tak memiliki semua itu, kecuali sedikit dengan senjata yang sederhana. Namun, mereka memiliki “privilage” yang tak semua orang di dunia ini miliki. Mereka punya kondisi di mana mereka “dipaksa” hanya bersandar pada Kekuasaan Allah Swt. Imannya orang Gaza itu tanpa “underlying” kebendaan sama sekali; benar-benar murni.
Ahli perang bilang, “takluknya satu negeri dapat dilihat dari apa yang dibicarakan masyrakatnya”. Jika yang dibicarakan itu seputar kesenangan saja, maka mereka sedang lemah karena mereka sedang terlena. Jika yang dibicarakan seputar perjuangan dan harapan akan kemenangan, maka mereka takkan takluk “hari ini”.
Itulah pembicaraan dan perilakunya orang-orang Gaza. Kalimatnya mengandung harapan, perilakunya mencerminkan keyakinan akan kebenaran janji Allah Swt. seolah tanpa celah. Salah satu perilaku yang mencerminkan keimanan mereka adalah kreativitas yang tak ada habisnya. Mulai dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari hingga yang strategis untuk menunjang perlawanan. Artinya, jangankan takluk, mereka justru seolah-olah menikmati hidup sehari-harinya. Sebaliknya, kita juga dapat mengetahui, beberapa tentara Israel bunuh diri akibat depresi di medan perang, ratusan hingga ribuan lainnya mengantri di poli penyakit jiwa.
Wajar sebenarnya ketika mendapati para penjajah Israel kesal. Bagaimana tidak, mengutip Huriyet Daily, mereka sampai harus “berdarah-darah” karena harus menggelontorkan uang Rp 2 triliun perhari untuk menaklukkan Gaza. Hingga bulan April tahun lalu saja, CNN Indonesia melaporkan, mereka telah menguras sekitar Rp 827 Triliun. Khusus untuk biaya propaganda saja, mereka menganggarkan Rp 2,4 Triliun. Propaganda tersebut bertujuan agar masyarakat dunia memaklumi genosida yang mereka lakukan. Belum lagi, menurut Tempo, ekonomi dalam negeri Israel pun harus morat-marit lantaran sekitar 46.000 bisnis yang bangkrut.
Sayangnya, dengan “pendarahan” yang mereka alami nyatanya belum mampu menaklukkan Gaza. Masyarakat Gaza justru menunjukkan kalau mereka “baik-baik saja” lewat ragam kreativitas mereka alias ngeyel. “Gak ngaruh tuh!”.
Lihatlah, meski tak ada pasokan listrik, masyarakat Gaza dapat bertahan dengan menciptakan turbin penghasil listrik bertenaga angin. Ada juga yang membuatnya dari panel surya. Untuk pemenuhan kebutuhan lampu, meski tanpa listrik, mereka tak mengalah dan membuat lampu minyak dengan botol bekas. Tak ada kompor gas, pemuda Gaza membuat kompor dari kaleng bekas kemasan. Ada lagi, sekelompok pemuda yang gotong royong membuat jaket mengandalkan kemampuannya merajut. Sebagaimana kita ketahui, hari ini Gaza tengah menghadapi musim dingin disertai hujan.
Jika kita melihat musim dingin dan hujan sebagai musibah bagi masyrakat Gaza, namun justru mereka melihatnya sebagai anugerah. Bagaimana tidak, kesulitan air bersih yang mereka terjawab melalauinya. Dengan kreativitasnya, masyrakat Gaza memanfaatkan tendanya untuk menampung air bersih. Anda mungkin pernah melihat tenda nikahan yang menggelayut ke bawah karena menampung air hujan? Begitulah yang mereka lakukan. Seolah Allah Swt. ingin mengirimkan air penuh rahmat pada mereka.
Tentu masih banyak ragam kreativitas yang ditunjukkan oleh masyrakat Gaza. Mereka memang tak takut mati, bahkan mereka mencintainya. Namun, kecintaan itu tak berarti membuat mereka ingin melarikan diri dari kehidupan dunia yang nampak seperti neraka di mata dunia. Semua itu, tak mungkin terwujud kecuali ada keyakinan tanpa celah pada Allah Swt. Sebagaimana mereka tidak takut mati, mereka pun berani hidup. Keberanian menghadapi hidup itu nampak dari ucap dan perbuatan mereka. Semua itu membuat Israel mengalami “pendarahan” parah.