Kemenangan Besar – Perempuan memang tidak Allah Swt. posisikan sebagai pemimpin dalam rumah tangga, namun dari rahimnya-lah lahir para pejuang layaknya Yahya Sinwar, Ismail Haniyah, dan Abu Ubaidah. Sayangnya, di tengah-tengah lingkungan sosial kita, “harga” perempuan kini direndahkan karena orientasi materi yang semakin kental. Beruntungnya kita karena masih dapat menemui sosok-sosok yang dapat menjadi standar yang benar sebagai perempuan, yakni sebagai “madrastul ula” dari para perempuan Palestina.
Peran perempuan sebagai madrasatul ula atau sekolah pertama bagi anak-anaknya sangatlah krusial. Sejak dini, ibu menjadi sumber utama pendidikan, menanamkan nilai-nilai moral, etika, dan spiritualitas yang membentuk karakter anak. Sebagai pendidik pertama, ibu memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk pondasi kepribadian anak yang akan mempengaruhi masa depannya. Penelitian menunjukkan, spiritualitas yang ditanamkan sejak dini berperan penting dalam kesuksesan belajar anak.
Kecerdasan spiritual yang dikembangkan melalui pendidikan ibu berperan dalam membentuk sikap dan perilaku positif pada anak. Anak yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi cenderung memiliki motivasi belajar yang kuat, mampu mengatasi stres, dan memiliki tujuan hidup yang jelas. Hal ini menjadi modal penting bagi kesuksesan mereka di masa depan. Oleh karena itu, peran ibu sebagai madrasatul ula tidak hanya berdampak pada pembentukan karakter anak, tetapi juga pada pencapaian akademis dan kesuksesan hidup mereka.
Sayangnya, seiring dengan perkembangan zaman, tantangan bagi para perempuan pun kian berat. Salah satunya adalah tsunami materialisme yang kian merebak, terutama melalui media sosial. Akibatnya, orientasi yang menjadi standar “kemuliaan” perempuan cenderung diukur hanya dengan materi, bukan pada peran yang sudah Allah Swt. tetapkan padanya. Salah satunya, adalah standar nafkah lahir. Beberapa waktu lalu, sempat viral beberapa waktu lalu, di mana seorang istri menuntut cerai suaminya lantara nafkah lahirnya dinilai di bawah standar.
Beruntungnya, di tengah tsunami materialisme yang begitu dahsyat, Allah Swt. memberikan pertolongannya pada kita. Di balik daya hancurnya penjajahan yang terjadi di Palestina, Allah Swt. justru menyingkap bagaimana standar kemuliaan yang sebenarnya, salah satunya pada para perempuan. Kecemerlangannya bukan lahir dari tercukupinya nafkah lahir, namun karena kekuatan spiritualitas yang mereka miliki sehingga melahirkan ketegaran. Bukan saja tegar menghadapi suami yang suka keluyuran atau memberi nafkah lahir yang sedikit. Namun, jauh lebih dari itu, mereka mendukung perjuangan rakyatnya dengan melahirkan generasi dengan spiritualitas yang tinggi.
Salah satunya ialah perempuan Palestina dari keluarga Syamalakh yang tetap tegar meski telah kehilangan 256 anggota keluarganya mencerminkan kekuatan spiritualitas yang luar biasa. Pernyataannya, “Demi Allah, semua ini adalah timbangan dari perbuatan baik kita… Alhamdulillah, semua ini demi perjuangan kemerdekaan, demi Al-Quds, dan demi Al-Aqsha,” menunjukkan tingkat keimanan dan ketawakalan yang tinggi. Sikap ini menjadi teladan bagi kita semua tentang bagaimana menghadapi ujian hidup dengan sabar dan ikhlas.

Sebagai istri dan ibu, perempuan Palestina tidak hanya mendampingi perjuangan suami, tetapi juga berperan sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya. Mereka menanamkan nilai-nilai spiritual dan semangat juang yang tinggi, memastikan generasi berikutnya memiliki ketegaran dan keimanan yang kokoh. Peran ini sejalan dengan konsep madrasatul ula, di mana ibu menjadi fondasi utama dalam pembentukan karakter dan spiritualitas anak.
Tantangan dan Ketegaran Perempuan Palestina
Secara umum, perempuan Palestina menghadapi berbagai tantangan berat akibat penjajahan yang berkepanjangan. Terhitung 77 tahun sejak agresi pertama penjajah Israel, mencaploki wilayah Palestina hingga hari ini. Mereka sering kali harus kehilangan anggota keluarga, menghadapi ketidakpastian ekonomi, dan mengakibatkan mereka harus menanggung beban psikologis yang berat. Namun, di tengah segala keterbatasan, mereka tetap menunjukkan ketegaran dan semangat juang yang tinggi.
Banyak dari mereka yang berhasil meraih prestasi gemilang meski dalam situasi sulit. Misalnya, Hanan Al Hroub, seorang guru asal Palestina, berhasil meraih gelar Guru Terbaik Dunia pada tahun 2016. Prestasi ini menunjukkan bahwa perempuan Palestina mampu mencapai puncak karir dengan kualitas mental dan spiritual yang mereka miliki.
Di balik karir yang cemerlang, para perempuan Palestina ini juga tetap tidak meninggalkan kodratnya sebagai perempuan, yakni sebagai partner bagi suaminya. Ketidakpastian ekonomi akibat konflik membuat banyak suami kesulitan mencari nafkah sehingga para istri harus siap menghadapi ketidakpastian dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Menurut teori psikologi, ketidakpastian ekonomi dapat memicu stres dan ketidaknyamanan dalam hubungan rumah tangga. Namun, dengan kekuatan spiritual dan mental yang kokoh, perempuan Palestina mampu mengatasi tantangan ini dengan sabar dan tegar.
Belum lagi, risiko kehilangan suami sebagai tulang punggung keluarga membuat banyak perempuan Palestina harus mengambil peran ganda sebagai pencari nafkah sekaligus pengasuh anak. Meski beban yang mereka pikul sangat berat, mereka tetap menunjukkan ketegaran dan dedikasi yang tinggi dalam menjalankan peran tersebut. Kisah perempuan dari keluarga Shamalakh yang tetap tegar meski kehilangan 256 anggota keluarganya menjadi bukti nyata kekuatan spiritual dan mental yang dimiliki oleh perempuan Palestina.
Pertanyaannya, mungkinkah perempuan di seluruh dunia bisa setegar para perempuan Palestina? Tentu saja, selama bersedia menempuh langkah-langkah yang mereka lakukan.
Langkah Memperkuat Tingkat Spiritualitas sebagai Perempuan
Belajar dari ketegaran perempuan Palestina, kita dapat mengambil beberapa langkah untuk memperkuat spiritualitas sebagai perempuan. Pertama, meningkatkan interaksi dengan Al-Qur’an. Dalam Qur’an, surat Al Isra ayat 82, Allah Swt. berfirman,
وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.
Membaca, memahami, dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an dapat menjadi sumber ketenangan dan kekuatan dalam menghadapi berbagai ujian hidup. Lihatlah bagaimana Ummu Kholid Hamadah yang berusia 60 tahun pun tetap semangat bisa berinteraksi dengan Al-Qur’an lewat cara menghafalnya dan berhasil menyelesaikan 30 juz. Tentu bukan sekadar hafal, namun menginternalisasikan nilai-nilai yang terkadung di dalamnya di kehidupan sehari-hari. Hal ini akan membantu membentuk karakter yang kuat dan mampu menghadapi berbagai tantangan hidup dengan sabar dan ikhlas.

Kedua, semangat dalam menuntut ilmu. Perempuan Palestina menunjukkan semangat belajar yang tinggi meski dalam kondisi sulit. Misalnya, seorang perempuan berusia 85 tahun bernama Jihad Battu yang berhasil meraih gelar sarjana pada bidang Syari’ah Islam. Beliau menunjukkan bahwa usia bukanlah halangan untuk terus belajar. Semangat belajar ini tidak hanya untuk meraih gelar akademik, tetapi juga sebagai wujud optimisme dan upaya meningkatkan kualitas diri sehingga dapat berkontribusi di tengah masyarakatnya.
Dengan mengambil langkah-langkah tersebut, diharapkan kaum perempuan dapat memperkuat spiritualitas dan menjadi pribadi yang tegar serta mampu menghadapi berbagai ujian hidup dengan penuh keimanan.
Mari kita “kalibrasi” kembali standar kemuliaan perempuan, yakni sebagai madrasatul ula’ bukan dengan materi atau rupa yang dimiliki. Caranya, dengan menanamkan nilai-nilai spiritual dan moral yang kuat pada diri sehingga kita dapat membentuk generasi yang tangguh dan berakhlak mulia. Mulailah dengan meningkatkan interaksi dengan Al-Qur’anul kariim.