Kemenangan Besar – Ketika sebuah rumah hancur, pemiliknya mungkin bisa membangun kembali. Tapi bagaimana jika sebuah kota, sebuah generasi, bahkan masa depan seluruh bangsa dihancurkan secara sistematis? Gaza adalah saksi bisu dari tragedi kemanusiaan yang berulang. Namun, dari balik reruntuhan, kita justru dapat menemukan bagaimana agar nyala harapan tak pernah kunjung padam.
Gaza hari ini adalah puing-puing dari sebuah harapan yang selalu direbut. Infrastruktur luluh lantak, rumah-rumah menjadi abu, dan kehidupan yang layak hampir mustahil ditemukan. PBB mencatat bahwa lebih dari 60% bangunan di Gaza telah hancur atau rusak parah akibat agresi militer yang terus berlangsung. Biaya rekonstruksi? Diperkirakan mencapai miliaran dolar, jumlah yang terlalu besar untuk wilayah yang sudah lama dikunci dari akses ekonomi yang layak.
Militer Israel telah membunuh lebih dari 61.700 manusia dan melukai 110.000 lainnya dengan sebagaian besarnya, perempuan dan anak-anak. Belum lagi, masih banyak mayat yang tertimbun di bawah 50 juta ton puing-puing bangunan. Dengan dijatuhkannya sekitar 75.000 ton bom di Gaza, lebih dari 90 persen rumah dan 88 persen sekolah rusak atau hancur sama sekali. Belum lagi jalan, rumah sakit, lahan pertanian, bahkan fasilitas pengolahan air.
Untuk membangunnya kembali, Perserikatan Bangsa-Bangsa menghitung biaya anggaran pembangunan kembali Gaza membutuhkan sekitar $ 53 miliar dan waktu yang dibutuhkan, sebagaimana laporan UNDP yang dikutip oleh Al Jazeera, bisa memakan waktu hingga tahun 2040. Namun, untuk memulihkan semua unit rumah, butuh sekitar 80 tahun, tentunya dengan mempertimbangkan tren beberapa serangan penjajah Israel pada Gaza sebelumnya. Sedangkan, kalau menghitung segala aspek kehidupan orang-orang Gaza, membutuhkan waktu hingga 350 tahun.
“Perkiraan UNDP tidak memperhitungkan semua infrastruktur fisik. Itu hanya perumahan,” kata Rami Alazzeh, seorang petugas urusan ekonomi di Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan.
Sebelum pembangunan, tentu harus dimulai dengan pembersihan puing-puing. Masalahnya, di balik puing-puing itu ada risiko yang tak main-main. Ada bom yang mungkin belum meledak, kontaminan berbahaya seperti asbes, dan tentunya ribuan mayat.
“Kondisi perang telah mendorong pengangguran hingga 90 persen,” kata Alazzeh. “Modal manusia telah terpukul parah. Anak-anak telah kehilangan 16 bulan sekolah, dan orang-orang belum menerima perawatan medis yang memadai selama satu setengah tahun.”
Dalam sembilan bulan pertama konflik, Organisasi Kesehatan Dunia melaporkan hampir satu juta kasus infeksi pernapasan akut di Gaza, setengah juta kasus diare dan 100.000 kasus kudis, semuanya dengan latar belakang kekurangan gizi yang tinggi.

Dengan prospek pembangunan jangka panjang Gaza “sangat terbatas”, Alazzeh mengatakan “kecepatan rekonstruksi akan bergantung pada kemungkinan dimulainya kembali permusuhan juga”, mengacu pada penghancuran berulang Israel terhadap infrastruktur Gaza di masa lalu.
Di balik kondisi yang harus saudara kita harus hadapi, ada tekanan internasional yang semakin mempersempit ruang hidup mereka. Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Israel, sering kali memberikan dukungan militer yang justru kian menyesakkan penderitaan. Beberapa analis menyebut ini sebagai “perang pengusiran”, di mana warga Gaza secara sistematis dipaksa pergi dari tanah mereka sendiri. “Kami membangun kembali rumah kami hanya untuk melihatnya dihancurkan lagi. Seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan,” ujar seorang warga Gaza yang selamat dari serangan terakhir.
Bagi kita, kehilangan rumah atau orang tercinta adalah luka yang dalam. Tapi bagi mereka, Gaza sudah kehilangan “hari ini dan masa depannya”. Dan di luar sana, masih ada suara-suara yang mencibir upaya mereka untuk bertahan.
“Ketika Gaza sedang berupaya bangkit, opini dari berbagai kalangan berikut ini malah memberatkan mental orang-orang Gaza.”
Ada yang mengatakan, “Kenapa tidak pergi saja?” atau “Mengapa tetap bertahan di tempat yang penuh perang?” sebagaimana dikatakan oleh Presiden Amerika, Donald Trump, yang sesumbar akan “memiliki Gaza” dan menyarankan warga Gaza mengungsi ke Yordania atau Mesir, bahkan Indonesia. Seolah-olah mereka punya pilihan yang lebih baik. Realitasnya, Gaza adalah rumah mereka, akar mereka, dan satu-satunya yang tersisa. Mengungsi bukan sekadar soal pindah tempat, tetapi soal kehilangan identitas dan sejarah.
Tak sedikit pula yang mempertanyakan bantuan kemanusiaan. “Mengapa dunia harus membantu mereka?” Padahal, di banyak kesempatan, Gaza telah membangun sendiri, hanya untuk dihancurkan lagi. Setiap bantuan adalah napas bagi mereka yang terus dicekik oleh blokade ekonomi dan militer.
“Sudah berat, eh, orang-orang bukannya ‘puk-pukin’, ini malah kian menimpakan beban mental.”
Harapan Masyarakat Gaza yang Tetap Menyala
Meski tantangan di depan begitu berat, belum lagi dunia yang skeptis dengan pembangunan kembali Gaza, nyala harapan penduduk Gaza tetap menyala. Sebagaimana narasi yang ditulis oleh penulis “We Are Not Numbers”, Haneen Abdul Anabi, dengarlah tekadnya pada salah satu esainya,
“Jalan ke depan mungkin tidak pasti, tetapi saya bertekad untuk bertahan. Di tengah kegelapan, saya akan menjadi suar harapan, berdiri tegak di samping komunitas saya, siap untuk membangun kembali, dan menulis ulang narasi Gaza. Bersama-sama, kita akan mengatasi tantangan, menyembuhkan luka, dan menempa masa depan di mana mimpi dapat berkembang sekali lagi.”
Juga pernyataan dari Hend Salama Abo Helow, seorang peneliti, penulis “We Are Not Numbers”, dan Mahasiswa Kedokteran di Universitas Al Azhar di Gaza. Dia mengatakan,
“Saya sangat menantikan saat ketika perbatasan terbuka, untuk kembali ke Gaza, untuk mencium pasirnya, dan memenuhi tugas saya terhadap tanah air saya,” kata salah satu teman saya yang mengejar gelar kedokteran di luar Gaza kepada saya.
Gaza bukan hanya sebuah tempat—itu adalah semangat ketahanan, phoenix yang bangkit dari abu.
Ini bukan hanya cerita saya. Ini adalah kisah setiap siswa di Gaza yang berani bermimpi, yang berpegang teguh pada harapan bahkan ketika dunia tampaknya bertekad untuk memadamkannya. Kami bukan hanya penyintas. Kami adalah pembangun masa depan yang tidak dapat dihapus oleh perang.
Gaza akan berkembang lagi. Dan begitu juga saya.

Yang perlu kita pahami, harapan yang senantiasa membara itu tak hadir dari ketiadaan. Ada suluh iman yang menjadi bahan bakarnya. Jiwa orang beriman yang dibakar dengan ujian, ditempa dengan shalat, dan disirami dengan Al-Qura’nul kariim, sepantasnya memang seperti itu. Dalam Qur’an surat Ali Imran ayat 139, Allah Swt. berfirman,
وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”
Pun, lewat sebuah hadits yang luar biasa, Rasulullah Saw. juga menguatkan:
“Jika Kiamat terjadi dan di tangan salah seorang dari kalian ada benih kurma, maka tanamlah.” (HR. Ahmad)
Berdasarkan hadits ini, seorang bermental Gaza seolah mengatakan, “Kami tak butuh puluhan tahun, lima tahun (gencatan senjata) itu terlalu lama, untuk kami bangkit kembali lebih kuat dari sebelumnya.”
Ulama besar Ibnu Taimiyyah pernah berkata, “Hati seorang mukmin tidak akan pernah hancur oleh dunia, selama ia menggantungkan harapannya pada Allah.”
Jika Gaza, yang sudah kehilangan segalanya, masih bisa berharap, lalu bagaimana dengan kita? Kita yang masih punya rumah, pekerjaan, dan akses ke kehidupan yang lebih baik?
Saat dunia terasa sulit, ingatlah Gaza. Ambil inspirasi dari mereka. Jika mereka bisa bertahan, kita pun bisa. Kita tak harus berada di medan perang untuk belajar arti ketahanan dan harapan.
Jadilah bagian dari solusi. Dukung perjuangan mereka. Sebarkan kesadaran. Kemudian, yang terpenting, jangan pernah kehilangan harapan.