Kemenangan Besar – Ketika dunia terus digempur oleh berita-berita perselingkuhan yang seolah meruntuhkan nilai kesetiaan, kisah seorang istri di Palestina ini menjadi lentera harapan bahwa kesetiaan sejati masih ada di muka bumi. Jeruji besi Zionis Israel, nyatanya tak cukup kuat melunturkan pengikat komitmen sepasang suami istri di Palestina. Artinya, selama itu pula sang istri tak mendapatkan nafkah lahir maupun batin, ditambah harus membesarkan anaknya, Abdullah (20) sendirian lantaran “ditinggalkan” saat dirinya sedang mengandung.
Mohammed Omar Zayed, seorang pria Palestina, harus merasakan dinginnya jeruji besi Israel selama 20 tahun—dua dekade penuh penderitaan dan siksaan. Namun, yang lebih menggetarkan hati adalah istrinya yang tetap teguh menjaga komitmen pernikahan, meski harus menjalani kehidupan tanpa nafkah lahir maupun batin dari sang suami. Lebih perih lagi, ia ditinggalkan saat tengah mengandung anak mereka, Abdullah, yang kini telah berusia 19 tahun.
Setelah dua dekade penuh kesabaran, akhirnya Zayed dibebaskan sebagai bagian dari gencatan senjata terbaru. Betapa beruntungnya ia, karena begitu keluar dari penjara, masih ada sosok yang setia menantinya di rumah. Dengan wajah teduh bak bidadari, sang istri menyambutnya dengan penuh kerinduan dan kasih sayang. Padahal, dalam dua puluh tahun itu, ia harus membesarkan anaknya seorang diri, tanpa kehadiran seorang suami yang bisa menjadi tempat berbagi keluh kesah, tanpa transfer uang, dan tanpa sosok kepala rumah tangga yang melindunginya.
“Saya menghabiskan 20 tahun setengah di penjara, sedangkan anak ini lahir saat saya berada dalam kandungan ibunya. Saya menikah hanya selama empat bulan, dan istri saya, wanita terhormat ini, berhasil menjaga serta mendidiknya dengan luar biasa,” ungkap Zayed dengan penuh rasa syukur dalam wawancara dengan Medan Tribun News. Di tengah derasnya arus dunia yang kian mengikis nilai-nilai luhur pernikahan, kisah ini adalah pengingat bahwa masih ada keteguhan hati yang tak tergoyahkan.

Di saat banyak pasangan memilih berpisah hanya karena persoalan materi atau godaan duniawi, istri Zayed justru “mendefinisikan” kembali akad di depan KUA dan mertua bukan sekadar ucap, melainkan janji setia pada Allah Swt. Kesetiaannya bukan hanya kepada suaminya, tetapi juga kepada prinsip dan ajaran yang diyakininya: bahwa pernikahan adalah perjanjian di hadapan Allah yang harus dijaga sebaik mungkin.
Nyala Harap Eksistensi Kesetiaan di tengah Normalisasi Perselingkungan
Dunia saat ini dihujani berita perselingkuhan yang mengikis kepercayaan banyak orang terhadap konsep kesetiaan. Dari kasus selebriti hingga pasangan biasa, eksposure tentang hubungan yang retak akibat perselingkuhan membanjiri media sosial dan pemberitaan. Saking derasnya sampai-sampai menimbulkan kesan, kesetiaan sudah menjadi “barang langka”; sesuatu yang utopis dan tak lagi relevan.
Dalam kondisi tersebut, kisah istri Zayed memberikan angin segar bahwa kesetiaan itu masih ada wujudnya di muka bumi. Ia membuktikan bahwa kesetiaan bukanlah mitos, melainkan konsep nyata yang masih relevan dengan zaman dan dapat dipegang teguh oleh mereka yang memahami esensi pernikahan.
Kita perlu waspada dengan gempuran narasi perselingkuhan ini karena dapat menimbulkan fenomena groupthink, di mana banyak orang mulai menganggap perselingkuhan sebagai sesuatu yang wajar dan dapat dimaklumi. Ketika sebuah perilaku abnormal terus-menerus diekspos tanpa kritik, lama-kelamaan masyarakat mulai menerimanya sebagai sesuatu yang lumrah.
Ini berbahaya, ketika perselingkuhan diobral di media sosial, dampaknya bukan hanya pada perasaan pasangan, namun juga menjadi penggerus nilai-nilai moral. Maka, kita harus baca kembali perselingkuhan sebagai “pengkhianatan”, terutama terhadap janji suci yang telah diikrarkan di hadapan Allah dan manusia.
Apalagi, dalam narasi-narasi di media sosial tersebut yang menjadi alasan perselingkuhan adalah sesuatu yang sifatnya metrialistis. Standar nafkah suami kerap dipersempit dalam konsep materialistis semata. Fenomena “standar TikTok” menggambarkan bagaimana banyak orang menilai kelayakan seorang suami dari seberapa besar ia mampu memenuhi kebutuhan istrinya secara finansial. Padahal, Islam sendiri menekankan bahwa kebahagiaan rumah tangga tidak hanya ditentukan oleh materi, tetapi juga oleh keberkahan dan ketakwaan dalam menjalani kehidupan bersama.
Selain itu, yang menjadi “alasan” juga biasanya terkait dengan fisik pasangan, padahal kisah pernikahan yang indah itu bukan domainnya rasa suka atau ketertarikan fisik belaka. Oleh karena itu, dalam Islam, pernikahan disebut sebagai mitsaqon ghalizha, perjanjian yang berat dan sakral.

Banyak Ustadz menyatakan bahwa akad nikah sejatinya bukan hanya perjanjian di hadapan KUA, melainkan perjanjian dengan Allah yang disaksikan oleh para malaikat dan umat manusia. Oleh karena itu, kesetiaan dalam pernikahan bukanlah soal pilihan, melainkan konsekuensi dari janji yang telah dibuat.
Pantaslah, pernikahan dalam Islam tidak didasarkan pada perasaan cinta yang berkembang lebih dahulu, tetapi pada komitmen menjadi pondasi utama. Artinya, tidak ada korelasi antara “mengenal lebih dulu” dalam pacaran sebelum menikah, karena komitmenlah yang seharusnya menjadi perekat utama dalam hubungan, bukan sekadar ketertarikan sementara.
Sebagai bentuk perlindungan atas janji suci ini, Islam juga mewajibkan adanya saksi dan pengumuman pernikahan, agar hubungan ini tidak hanya diketahui oleh pasangan, tetapi juga oleh masyarakat yang akan turut menjaga dan mengawasi mereka.
Sampai di sini, kita dapat melihat istri Zayed, nampaknya memahami betul hakikat pernikahan sebagai ikatan yang harusnya tidak bisa dikhianati begitu saja. Keteguhannya dalam menjaga kesetiaan bukan karena keterpaksaan, tetapi karena pemahaman bahwa janji pernikahan bukan sekadar dokumen, melainkan perjanjian suci yang dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Kisah ini juga menjadi pengingat bagi masyarakat agar tidak terjerumus dalam normalisasi perselingkuhan yang semakin marak.
Di tengah dunia yang terus berubah dan sering kali mengikis nilai-nilai luhur, kisah kesetiaan istri Zayed adalah pengingat bahwa masih ada orang-orang yang memegang teguh komitmennya. Kesetiaan bukanlah sesuatu yang usang atau tidak relevan, tetapi merupakan fondasi dari hubungan yang sehat dan penuh berkah. Lagi-lagi, melalui kisah nyata ini, kita dapat menemukan, kemenangan Palestina bukan sekadar kemenangan teritori wilayah Palestina, melainkan kemenangan nilai-nilai luhur di atas nilai-nilai nihil materialisme.
Jangan biarkan narasi perselingkuhan merusak pemahaman kita tentang pernikahan. Mari kita jadikan kisah ini sebagai inspirasi untuk lebih menghargai pasangan, menjaga komitmen, dan menolak segala bentuk pengkhianatan. Sebab, di balik setiap pernikahan, ada janji suci yang harus dijaga. Jika seorang wanita di Palestina bisa bertahan selama 20 tahun dalam kesetiaan tanpa syarat, tidakkah kita juga bisa lebih menghargai pasangan kita hari ini?