Kemenangan Besar – Hawa kehadiran mereka dapat membuat tentara Israel “terkencing-kencing”, kapok masuk kembali ke Gaza. Padahal, tentara Israel termasuk jajaran tentara elit di dunia. Namun, di balik sosoknya yang menakutkan, ternyata sifat mereka mampu membuat tawanan musuh sampai mencium keningnya. Selain itu, ternyata parade mereka begitu dinantikan oleh anak-anak yang masih bersih fitrahnya.
Dilaporkan oleh kompas.tv, sekitar 30.000 tentara Israel telah menghubungi saluran kesehatan mental sejak gelombang genosida besar-besaran mereka lakukan di Gaza, Palestina. Mengutip Anadolu Ajansi, dilaporkan sekitar 200 tentara diberhentikan dari angkatan darat karena masalah psikologis akibat perang, sebagaimana dilaporkan oleh pihak militer Israel. Bahkan, Korps Medis Tentara Israel berencana membuka pusat kesehatan mental baru untuk para tentara pada Kamis (29/2/2024), yang bertujuan mencegah gangguan stres pascatrauma akibat serangan ke Gaza.
Pusat kesehatan mental baru itu akan dilengkapi dengan klinik pengobatan gangguan stres pascatrauma di kalangan tentara. Pada 2 Februari, Yekhiel Levechitz, kepala departemen klinis penyakit mental tentara Israel, menyatakan sekitar 3.000 tentara telah diperiksa oleh para ahli kesehatan mental sejak 7 Oktober 2023. Sebagai catatan, laporan ini dibuat pada Februari 2024 lalu.
Kondisi tersebut menjelaskan alasan di balik gelombang paramiliter Israel yang ogah kembali ke “medan tempur” Gaza, sebagaimana dilaporkan oleh Middle East Monitor dan dikutip oleh CNN Indonesia pada bulan Agustus tahun 2024 lalu. Menurut lembaga siaran publik Israel, KAN, setidaknya terdapat 20 tentara Zionis yang menolak berperang di Gaza pada pekan tersebut. Akibatnya, sepuluh dari 20 tentara di antaranya harus mendapatkan peringatan resmi dengan ancaman penjara jika menolak ditugaskan.
CNN Indonesia mengatakan, perilaku para tentara penjajah itu dilatarbelakangi beberapa alasan. Mulai dari hiruk-pikuk “perang selamanya” sebagai ambisi para politisi Israel, nyatanya memang para tentara Zionis ini diyakini mulai kewalahan. Selain itu, rupanya dengan mereka melakukan perdamaian, sejatinya mereka sedang menyiksa nuraninya sendiri dengan melakukan kejahatan perang terhadap kemanusiaan. Terakhir, banyak dari mereka yang enggan kembali berperang di Gaza karena merasa Hamas tak akan bisa dikalahkan.

Terkait dengan keengganan kembali ke jalur Gaza, kebanyakan media mengedepankan alasan kelelahan psikis sebagai latar belakang yang utama. Namun, jika kelelahan itu semata karena durasi perang yang tak berujung, masa iya tentara paling elit di dunia tak mampu melaluinya bukan? Tentunya ada tekanan psikologis hebat yang menyerang mereka. Kita tak dapat mengabaikan begitu saja, fakta bahwa para tentara ini juga tertekan oleh rasa takut pada tentara pejuang kemerdekaan Hamas, brigade Izuddin Al-Qossam.
Mari kita putar kembali ingatan awal mula di mana tentara Israel melakukan gempuran besar-besaran ke Gaza. Di saat itu, kita dapat menemukan rekaman radio komunikasi tentara Israel yang stres, saking takutnya dengan tentara pejuang kemerdekaan yang “seperti hantu”. Keunggulan teknologi persenjataan, rupanya tak cukup untuk mendongkrak moral tentara elit di dunia tersebut. Berikut adalah percakapan yang dikutip oleh Sindonews.
“Tentara Hamas itu! Aku tak bisa melihat mereka. Kita membunuh hantu. Aku tak ingin mati. Aku telah menyaksikan temanku dibunuh di depan mataku. Tolonglah Yiyzak!” terdengar suara tentara Israel yang seperti menangis dalam rekaman audio yang diunggah akun @ibnu_Abdullahs yang dipantau Sindonews, Selasa (14/11/2023).
“Tanpa Angkatan Udara, tanpa Angkatan Laut kita tak bisa mengalahkan mereka. Kita tidak bisa melawan mereka dengan Tank! Mereka tidak akan rugi apa-apa. Dengan seluruh tank dan alat perang kita tidak sanggup berbuat apapun!! Aku ingin meninggalkan negeri ini,” sambungnya.
Kemudian terdengar suara pria kedua mencoba menenangkan tentara tersebut. “Dengarkan aku dengan baik. Tenanglah,” kata pria kedua.
“Jangan suruh aku tenang!! Kau tidak lihat apa yang kulihat! Aku ingin segera keluar dari sini,” jawab pria pertama yang terdengar menangis.
Sampai di sini, kita dapat memahami, betapa menakutkannya para pejuang kemerdekaan Hamas. Meski begitu, tentara yang amat ditakuti musuh tersebut juga nyatanya sosok yang mampu meluluhkan anak Palestina, bahkan musuhnya, yakni tentara Israel.
Menakutkan Namun Amat Pengasih
Saking merea menjaga rahasia, ditambah dengan penyensoran yang dilakukan oleh para pengusaha media, sampai hari ini pun kita sulit menemukan bagaimana interaksi para tentara pejuang Hamas dengan para tawanan. Meski begitu, qadarullah kita dapat melihat hasil dari interaksi tersebut.
Lagi-lagi momennya dapat kita temukan pada saat pelepasan tawanan Israel oleh pasukan Hamas. Setelah nenek yang memberikan kesaksian pada gencatan senjata pertama, kemudian gadis yang melemparkan tatapan sedih perpishan, kini ada Omer Shem Tov yang mencium kening pejuang Hamas yang membebaskannya di Al-Nuseirat.
Ciuman kening, menurut beberapa sumber merupakan tanda kasih sayang, ketulusan, kepedulian, hormat, dan kasih sayang. Ciuman tersebut, lazim kita temukan dilakukan oleh orang tua pada anaknya. Namun, kali ini, dilakukan oleh musuh kepada pihak yang ditakutinya.
Selain itu, lazim kita dapat menemukan bagaimana anak-anak Palestina, berebut ingin menyaksikan pawai tentara yang menakutkan musuh itu. Bahkan, balita yang masih bersih fitrahnya, bukannya takut oleh tentara yang biasanya garang, ini justru berupaya keras untuk mendekat dan bersalaman dengan mereka.

Pertanyaannya bagaimana bisa? Tentu bisa karena memang begitulah Rasulullah Saw. mendidik para tentaranya. Mereka bisa tegas, bisa menebas leher musuh, hanya dalam peperangan, namun berkasih sayang pada anak-anak, pada perempuan, pada para sepuh, bahkan pada musuh ketika mereka menjadi tawanan. Mereka ditakuti musuh, namun amat santun pada para tawanan. Inilah didikan nabawiyyah.
Perilaku ini, berbanding terbalik dengan kebiasaan perlakuan bangsa Arab, yang memang terbiasa memperlakukan tawanan secara sewenang-wenang. Perilaku ini juga yang saat ini dapat kita temukan pada para tentara Israel, yang bukan hanya menawan, namun juga menyiksa para tahanan sipil Palestina.
Ketika bangsa Arab terbiasa memperlakukan tawanan dengan kesewenang-wenangan, Rasulullah Saw. justru memperlakukan tawanan dengan amat manusiawi. Tentu, ada kondisi di mana tawanan harus dieksekusi, namun bukan dengan siksaan, tapi langsung dihukum mati. Itupun dengan landasan hukum karena pelakunya melakukan kejahatan perang atau penghinaan yang besar pada dakwah.
Selain itu, yang lainnya, adalah pembebasan dengan tebusan uang, dengan mengajarkan baca tulis, atau bahkan pembebasan tanpa syarat apapun. Sebelum sidang putusan, para tawanan hanya dibiarkan di dekat masjid, agar pesan-pesan ajaran Islam sampai pada mereka. Dalam fase ini, para sahabat tak sungkan berbagi makanan seporsi yang sama dengan yang mereka miliki dengan para tawanan.
“Seandainya Al-Muth’im bin Adi (pembesar kaum Musyrik) masih hidup, kemudian ia berbicara kepadaku tentang para tawanan ini, pasti aku akan melepaskan mereka untuknya,” kata Rasulullah di hadapan tawanan perang Badar.
Al-Muth’im adalah salah seorang elit musyrik yang dihormati Rasulullah. Ia merupakan salah seorang yang ikut membatalkan perjanjian boikot yang dilancarkan kaum musyrik kepada Bani Hasyim.
Meski begitu, kamu muslimin tak boleh memperlakukan musuh dengan landasan dendam. Maka, tak ada kekerasan, kecuali di medan perang. Di luar itu, kembali ke setelan awal, berkasih sayang pada sesama. Inilah rahmat bagi seluruh alam semesta.
Para pejuang kemerdekaan Palestina, boleh saja jadi pasukan yang paling menakutkan. Namun, dengan kemampuannya tersebut, bukan berarti mereka boleh menumpahkan dendam kesumat karena keluarga mereka dibantai, disiksa oleh musuh mereka. Inilah bimbingan nabawiyyah, di mana kekerasan dan kasih sayang dapat berpadu secara harmonis dengan porsi yang proporsional. Mereka ditakuti dan garang, namun juga orang-orang yang paling dikasihi, oleh anak-anak, bahkan oleh musuhnya.
Lagi-lagi, dari masyarakat Palestina, kita dapat belajar, kemenangan Palestina bukan saja kemenangan teritorial, melainkan kemenangan nilai-nilai kemanusiaan atas nilai-nilai kebinatangan alias nilai-nilai robbani di atas hawa nafsu.