Kemenangan Besar — Apa sih yang bikin Anda rindukan saat tiba Ramadhan? “War” takjil? Main petasan? Atau.. Momen lebarannya? Baju barunya? Atau momen perjumpaan dengan keluarga dan perjumpaan dengan sepupu yang kini terlihat lebih menawan? Ya.. Semua hal itu memang sepantasnya membuat kita gembira karena Ramadhan memang momen di Allah Swt. mencurah-limpah-kan Rahmat-Nya. Namun, meski tak mendapati semua hal itu, kok bisa rakyat Palestina bisa tetap bergembira dengan datangnya Ramadhan?
Bulan Ramadhan memang menyenangkan, terutama saat momen buka puasa. Ragam makanan tersaji di makan, seluruh anggota keluarga berkumpull mengitarinya, memandang makanan yang tersaji dengan penuh selera. Bersyukurlah jika kita masih bisa mengalaminya dan memang begitulah seharusnya; bergembira dengan datangnya waktu maghrib.
Dalam hadis qudsi Allah Swt. berfirman,
للصائم فرحتان، فرحة عند فطره، وفرحة عند لقاء ربه
“Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Hadits ini menerangkan pada kita, puasa memang dapat menimbulkan kebahagiaan pada orang-orang yang melaksanakannya. Beban saat berpuasa; akhirnya, kita bisa terbebas dari beban menahan segala keinginan syahwat; makan-minum dan berkumpul dengan pasangan. Kegembiraan itu kian lengkap karena semua itu bisa dinikmati dalam kondisi aman, bisa kumpul dengan anggota keluarga, tanpa kekurangan apapun. Belum lagi, janji Allah Swt. berupa perjumpaan dengan-Nya di yaumil akhir nanti.
Sayangnya, kegembiraan tersebut belum tentu itu bisa dialami oleh warga Palestina hari ini. Bisa merasakan manisnya satu butir kurma saja, bisa jadi sebentuk kemewahan bagi mereka. Ketika kita bisa melepaskan diri dari menahan diri selama seharian dengan datangnya Maghrib, namun tidak dengan mereka. Tahun lalu, warga Palestina memang dalam kondisi perang sehingga makanan sulit mereka peroleh.
Warga Kota Khan Younis, Mohammad al-Masry, pada Senin menceritakan menu buka puasa yang ia temukan ketika kini terpaksa mengungsi di Kota Rafah, Gaza selatan akibat serangan Israel. “Makanan berbuka puasa kini digantikan dengan makanan kaleng dan kacang-kacangan. Kami tidak menyiapkan apa-apa. Apa yang dimiliki oleh para pengungsi?” kata al-Masry. “Kami tidak merasakan sukacita Ramadhan… Lihatlah orang-orang yang tinggal di tenda-tenda dalam cuaca dingin,” tambahnya, dikutip kompas dari AFP.
Tahun ini, Alhamdulillah, warga Gaza, Palestina memasuki Ramadhan dalam kondisi gencatan senjata. Akhirnya, sebagian bantuan dari seluruh dunia bisa masuk ke Gaza. Namun, itu pun bisa jadi hanya mencukupi untuk beberapa hari saja. Dalam kondisi kaum Muslimin Gaza berpuasa, penjajah (Israel) lagi-lagi mengingkari perjanjian dengan memblokade bantuan kemanusiaan, termasuk makanan ke Gaza. Meski terbatas, warga Gaza tetap bersyukur dan menyambut Ramadhan dengan penuh suka cita. Lantas, bagaimana dengan hari-hari Ramadhan berikutnya?
Kalaupun mereka dapat menikmati makanan, tetap saja, belum tentu mereka dapat merasakan kebahagiaan. Kegembiraan mereka tidak lengkap, lantaran rumah mereka hancur, anggota keluarga mereka entah di mana; anak, suami, istri, orang tua entah berada di mana. Bahkan masjid untuk tarawih pun tak lagi berwujud, kecuali hanya puing-puing. Meski begitu, mereka tetap bersuka cita menyambut Ramadhan. Pertanyaannya, bagaimana bisa?
Bukan Beban, Melainkan “Santapan”
Bagi orang Palestina, puasa Ramadhan bukan lagi beban, melainkan santapan utama di bulan Ramadhan. Memang, selama puasa, kita tidak “makan”, namun sejatinya di saat yang sama, sejatinya kita “makan”. Makan yang pertama itu makanan untuk tubuh, yang dimakan pada saat sahur dan berbuka, sedangkan “makan” yang kedua itu memberi makan sisi spiritual kita. Warga Gaza memang kesulitan mengenyangkan fisiknya, namun mereka kenyang secara spiritual dan shaum adalah salah satu sarana untuk “memberi” makan aspek spiritual dari diri kita.
Pantaslah, mereka tetap bersemangat mempersiapkan tempat shalat mereka meski dari puing-puing karena bagi mereka masjid itu bukan sekadar fisik, namun tempat di mana bisa shalat berjama’ah. Sebagaimana kita dapat temukan dari berbagai sumber, hampir semua masjid di Gaza rata dengan tanah. Dari 1.245 masjid yang ada di Gaza, 814-nya benar-benar rata dengan tanah, sisanya rusak parah.
Untuk itu, mereka berupaya semaksimal mungkin merias area yang mereka jadikan masjid. Mereka membersihkan area masjid yang penuh dengan puing-puing sehingga bersih, kemdian mereka menggunakan plastik untuk menutup atapnya. Bukankah sesederhana itu pula Masjid Nabawy yang dibangun oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat? Definisi Masjid yang utama bagi mereka adalah tempat di mana bisa sujud, bukan soal megahnya. Meski bangunannya sederhana, namun “sajian” yang ada di dalamnya bisa jadi lebih megah dari kita.

Selain itu, meski dengan menu buka yang sekadarnya, mereka tetap berupaya menyantapnya dengan meriah. Buat mereka, substansi buka puasa bukan sekadar melepaskan diri dari rasa lapar dan dahaga, namun mengejar keutamaan di dalamnya, yakni mengmalkan sunnah dan juga memuliakan Ramadhan.
Dari sudut pandang psikologi klinis, ketika seseorang menjalankan puasa, proses “pengekangan diri”, justru menjadi sarana pengalihan fokus dari kenikmatan fisik ke aktivitas spiritual seperti dzikir, do’a, dan shalat. Hal ini, dapat mengaktifkan sistem reward di otak. Hasilnya, terjadi pelepasan hormon seperti endorfin dan oksitosin yang berkontribusi pada perasaan bahagia dan nyaman, meskipun tubuh sedang berpuasa.
Sementara, sebagai orang beriman yang meyakini balasan berupa pahala dan ampunan dari Allah Swt. psikologi positif memandang puasa sebagai salah satu bentuk latihan disiplin diri yang meningkatkan self-efficacy dan rasa pencapaian. Teori-teori seperti self-determination theory menjelaskan, ketika seseorang mampu mengendalikan diri dan menunda kepuasan instan, ia akan merasakan kepuasan dan rasa bangga yang mendalam. Keterlibatan dalam ibadah yang bermakna, serta perasaan bahwa puasa merupakan bagian dari pencapaian spiritual dan pertumbuhan pribadi, turut meningkatkan kepuasan batin dan semangat positif.
Dalam bahasa Al-Qur’an semua konsep tersebut terangkum dalam konsep “peningkatan taqwa” — kesadaran dan ketaatan kepada Allah Swt. (dengan mengajar keutamaan, mematuhi semua perintah, dan menjauhi semua larangan). Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
Khasiat puasa kemudian dijelaskan secara lebih teknis oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits dengan mengibaratkannya sebagai “taeng”. Nabi Muhammad Saw. bersabda,
الصِّيَامُ جُنَّةٌ
“Puasa adalah perisai” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Yang mengandung makna bahwa puasa melindungi hati dan pikiran dari keburukan berupa godaan syahwat yang terlarang sekaligus (disaat bersamaan) menumbuhkan kepekaan terhadap sesama.
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menjelaskan, “Puasa merupakan perisai selama tidak dirusak dengan perkataan jelek yang merusak. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah, ‘Aku sedang berpuasa” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Itu berarti, secara praktis, di saat yang sama seseorang juga sedang menjauhkan diri dari api neraka, yang kita ketahui merupakan balasan bagi mereka yang tak mampu mengendalikan syahwatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits,
قَالَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ : الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ، وَهُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Rabb kita ‘azza wa jalla berfirman, Puasa adalah perisai, yang dengannya seorang hamba membentengi diri dari api neraka, dan puasa itu untuk-Ku, Aku-lah yang akan membalasnya” (H.R. Ahmad, shahih).
Semua itu adalah “santapan” ruhani berupa puasa. Kemudian, pada malam harinya, Allah Swt. menghadirkan santapan lezat berikutnya, yakni shalat malam, yang pelaksanaanya biasa kita sebut dengan tarawih.
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa yang mendirikan shalat malam pada Bulan Ramadhan karena iman dan pengharapan pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sampai sini, kita dapat memahami, apa yang menggembirakan masyarakat Palestina, bukanlah kegembiraan karena bisa lepas dari “beban” puasa, tapi justru karena di bulan puasa ini, mereka mendapatkan “bayaran” lebih atas “puasa” mereka. Pada dasarnya, sudah setahun ini mereka kesulitan makan alias puasa, namun di bulan ini “rasa lapar” itu bisa terasa lebih istimewa. Semua itu, tak lepas dari cara pandang yang berbeda, yakni memandang syari’at yang ada selama Ramadhan sebagai “santapan” spiritual mereka.
Warga Gaza memang tak bisa “buka puasa” dengan makanan dan minuman, namun memang bukan itu yang membuat mereka gembira di bulan Ramadhan, tapi “sajian” ruhani, berupa pahala, ganjaran, dan “pertemuan dengan Allah Swt.” Mereka memang tidak bisa makan-makanan istimewa saat ifthar, namun mereka mampu merasakan santapan ruhani yang jauh lebih mewah dari kita.
Lewat momen Ramadhan ini, kita dapat mengambil hikmah, kemenangan Palestina, bukan sekadar kemenangan teritorial, melainkan kemenangan nilai-nilai luhur spiritual di atas nilai-nilai rendah materi atau materialisme. Nilai-nilai spiritual yang dibangun dengan kesadaran hasil olah akal dan jiwa di atas nilai-nilai material yang dihasilkan dari memperturutkan nafsu syahwat kebinatangan.