Kemenangan Besar – Sementara rakyatnya sedang memperjuangkan ambisi politiknya, anaknya malah hidup mewah di sebuah apartemen mewah di Amerika Serikat. Belum lagi, untuk memperolehnya, ia tak segan melakukan korupsi kapal perang beberapa waktu lalu. Siapakah gerangan? Dia adalah pemimpin Israel hari ini, Netanyahu dan lingkaran terdekatnya. Namun, di balik itu semua, ia hanyalah seorang tiran yang mewarisi jejak pendahulunya—pemimpin yang sama zalimnya.
Sebagaimana kita ketahui, demi mempertahankan ambisi politiknya, Netanyahu dan jajarannya mengirimkan rakyatnya wajib militer bergelombang-gelombang. Hasilnya, sebagaimana dilaporkan channel 12 yang mengutip Direktur Jenderal Kementerian Pertahanan, mengatakan sudah 5.942 tentaranya tewas, sementara 15.000 orang lainnya terluka, baik jiwa maupun raganya. Sebagaimana kita pernah bahas sebelumnya, banyak tentara Israel yang mengalami gangguan jiwa, bahkan memilih bunuh diri daripada kembali dikirim ke “medan perang”. Sementara itu, anaknya justru bersembunyi di apartemen mewah AS, menghindari wajib militer.
Narasi yang mereka gunakan ialah misi “pembebasan sandera”, padahal maksudnya ialah propaganda pada masyarakatnya agar mempertahankan tahta politiknya yang korup. Sebagaimana kita dapat temukan dalam berbagai sumber, ribuan hingga ratusan ribu rakyat Israel melakukan demonstrasi agar pemerintahnya memprioritaskan pembebasan sandera. Sementara itu, dari berbagai media, kita dapat menemukan apa yang Netanyahu lakukan di wilayah Palestina hari ini sebenarnya lebih ke pencaplokan wilayah, tanpa memperhatikan sedikitpun keselamatan sandra.
Akibatnya, beberapa waktu lalu, dalam sesi pembebasan tawanan Israel oleh pejuang kemerdekaan Palestina, empat di antaranya dikembalikan di dalam peti mayat. Menanggapi hal itu, pemerintah Israel malah sibuk menyalahkan pejuang kemerdekaan, padahal empat jenazah tersebut adalah hasil karya mereka sendiri yang tak hentinya membombardir Gaza, tempat di mana para rakyatnya yang menjadi tawanan berada. Tiga dari jenazah tersebut adalah seorang ibu beserta dua anaknya, yakni Shiri Bibas (ibu) dan Kfir serta Ariel (anak-anaknya).

Akiva Eldar, seorang penulis dan analis politik Israel, mengatakan “Bayi-bayi ini menjadi simbol kebodohan Israel, sikap bodoh pemerintah Israel, dan di peti mati bayi-bayi ini merupakan nilai-nilai Israel, nilai-nilai Yahudi, dan apa yang dijanjikan Netanyahu – kemenangan total dan mutlak’.
Sejarah seakan berulang. Dahulu, nenek moyangnya pernah menjadi korban kekejaman, hidup di bawah perbudakan dan ketidakadilan. Namun kini, ketika berkuasa, Netanyahu dan rekan koalisinya justru mengulangi pola yang sama: menindas mereka yang dianggap lebih lemah, termasuk pembiaran rakyatnya sendiri. Dapat dikatakan, pemimpin seperti ini adalah perwujudan dari “Fir’aunisme”—sebuah mentalitas penguasa yang zalim, sombong, dan merasa dirinya berhak menentukan nasib rakyat tanpa sedikit pun rasa empati.
Secara psikologis, pemimpin seperti Netanyahu ini biasanya mengalami gangguan kepribadian narsistik (NPD) atau psikopati. Ia memiliki kebutuhan akan kekuasaan yang ekstrem, menganggap dirinya sebagai pusat dunia, dan tidak peduli dengan penderitaan orang lain. Efek kekuasaan yang absolut juga memperparah kondisinya, menyebabkan apa yang disebut sebagai sindrom hubris, di mana seseorang kehilangan kemampuan untuk menilai dirinya sendiri secara objektif.
Dari sisi sosiologi, masyarakat yang terbiasa dengan budaya feodalisme dan mentalitas pasif memungkinkan lahirnya pemimpin otoriter, ibarat penasehat-penasehat Fir’aun dan inilah yang terjadi pada rakyat Israel. Mereka tidak melawan, malah tunduk pada propaganda. Bedanya, di kasus kali ini Netanyahu lebih parah karena rakyatnya pun turut menjadi korban. Inilah yang juga terjadi pada Fir’aun di masa lalu, di mana ia menganggap dirinya sebagai tuhan dan memaksa rakyat dunia untuk tunduk padanya. Dalam QS. Al-Qashash, ayat 39, Allah Swt. berfirman:
وَٱسْتَكْبَرَ هُوَ وَجُنُودُهُۥ فِى ٱلْأَرْضِ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ وَظَنُّوٓا۟ أَنَّهُمْ إِلَيْنَا لَا يُرْجَعُونَ
“Dan dia (Fir’aun) dan bala tentaranya berlaku sombong di bumi tanpa alasan yang benar, dan mereka mengira bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami.”
Ketiadaan rasa takut kepada Allah memperparah kondisi ini. Seorang pemimpin dengan mental Fir’aunisme tidak lagi memikirkan akhirat, ia hanya fokus pada kejayaan duniawi. Allah Swt. memperingatkan dalam QS. Al-Hasyr, ayat 16,
كَمَثَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ إِذْ قَالَ لِلْإِنسَٰنِ ٱكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّى بَرِىٓءٌ مِّنكَ إِنِّىٓ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلْعَٰلَمِينَ
“Seperti setan ketika dia berkata kepada manusia, ‘Kafirlah kamu!’ Maka ketika manusia itu telah kafir, dia berkata, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri darimu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.’”
Pada akhirnya, kombinasi gangguan psikologis, budaya yang membiarkan otoritarianisme, serta hilangnya rasa takut kepada Tuhan melahirkan pemimpin dengan karakteristik Fir’aunisme.
Hasil Didikan Fir’aun
Sejarah menunjukkan, penindasan bisa menciptakan siklus yang berulang. Sesepuh Israel har ini, yakni bani Israil pernah menjadi korban kekejaman Fir’aun di Mesir, diperlakukan sebagai budak dan diperlakukan sewenang-wenang. Namun, ketika mereka mendapatkan kekuasaan di kemudian hari, mereka justru menerapkan pola yang sama: menindas pihak yang mereka anggap lebih lemah.
Dalam psikologi, hal ini dikenal sebagai teori siklus kekerasan (cycle of violence), di mana korban kekerasan di masa lalu cenderung menjadi pelaku kekerasan di masa depan. Ada juga teori trauma transgenerasional, yang menyatakan bahwa trauma kolektif bisa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dari sudut pandang sosiologi, fenomena ini berkaitan dengan teori reproduksi sosial, di mana sistem ketidakadilan terus direproduksi melalui struktur kekuasaan yang sama. Orang yang pernah tertindas kemudian naik ke posisi kekuasaan dan, alih-alih menghentikan siklus itu, mereka justru melanjutkannya untuk mempertahankan dominasi.

Fir’aun adalah simbol tirani sepanjang sejarah. Bentuk penindasan yang ia lakukan meliputi:
- Eksploitasi dan perbudakan: Fir’aun memperbudak Bani Israil dan memaksa mereka bekerja tanpa belas kasihan. Mereka dijadikan tenaga kerja paksa untuk membangun proyek-proyek besar. Dalam hal ini, Netanyahu lebih parah karena memperbudak rakyatnya, yang notabene pendukungnya sendiri. Dia mengirim anak-anak negerinya ke “neraka”, sementara anaknya hidup nyaman dan mewah, jauh dari “medan perang”.
- Pembunuhan massal: Setiap bayi laki-laki dari Bani Israil dibunuh agar mereka tidak bisa berkembang menjadi ancaman bagi Fir’aun. Hari ini, Netanyahu lebih para karena selain membunuh bayi-bayi di Gaza, dia juga membunuh bayi rakyat yang merupakan pendukungnya sendiri.
- Propaganda dan pencitraan: Fir’aun menggunakan propaganda untuk menanamkan ketakutan dan memastikan rakyat tetap tunduk padanya. Netanyahu, dalam hal ini, dengan sengaja memamerkan kekuatan militernya dengan membantai penduduk Gaza.
- Kekejaman terhadap oposisi: Siapa pun yang menentangnya akan dihukum dengan kejam. Ini mirip dengan rezim modern yang menekan perbedaan pendapat. Dalam hal ini, jelas, inilah yang Netanyahu lakukan pada penduduk Palestina. Menghasilkan 48.000 lebih korban terbunuh, termasuk anak-anak, perempuan, dan orang tua.
- Menganggap diri sebagai tuhan: Fir’aun mengklaim bahwa ia adalah satu-satunya penguasa yang layak disembah, menciptakan kultus individu yang memanipulasi rakyat. Dalam hal ini, tercermin dalam perkataan para petinggi-petinggi Israel, yang menyatakan rakyat Palestina tak lebih dari binatang ternak; Sub-human, layak dibunuh.
- Pengalihan isu untuk mempertahankan kekuasaan: Ketika menghadapi tantangan dari Nabi Musa, Fir’aun mengalihkan perhatian rakyat dengan menyebarkan fitnah dan propaganda. Sebagaimana kita tahu, Netanyahu dan pemerintahannya selalu menuduh dan menjadikan Hamas sebagai alasan atas ketidakbecusannya sendiri, bahkan menjadikannya alasan untuk menghabisi bayi, perempuan, dan orang tua di Palestina.
- Menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan: Setiap kebijakan dibuat untuk melanggengkan kekuasaannya, bukan untuk kepentingan rakyat. Apa yang dilakukan Netanyahu hari ini, sejatinya bukan semata untuk membebaskan rakyatnya yang menjadi tawanan, melainkan untuk melanggengkan kekuasaannya yang korup. Sebagaimana kita pernah bahas sebelumnya, Netanyahu ini kalau berhenti akan dijerat oleh pengadilan Israel akibat korupsi kapal perang.
Fir’aunisme modern mengambil bentuk yang hampir sama. Pemimpin yang kejam, dalam hal ini, Netanyahu menggunakan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaannya, meskipun itu berarti mengorbankan rakyatnya sendiri.
Kasihan sekali rakyat Israel yang harus menderita di bawah pemimpin seperti ini. Mereka berharap keluarganya bisa hidup dalam damai, tetapi justru dipaksa menghadapi neraka dan kehilangan. Ironisnya, ketika rakyatnya tewas di “neraka” yang ia ciptakan sendiri, pemimpin seperti ini justru memperkaya dirinya sendiri, menyelamatkan dirinya sendiri, dan malah menyalahkan pihak lain, bukannya introspeksi.
Jika kita diam, pemimpin seperti ini akan terus ada. Oleh karena itu, kita harus berani bersuara, menyuarakan keadilan, dan melawan setiap bentuk penindasan. Karena jika tidak, sejarah akan terus berulang, dan kita akan terus hidup di bawah tirani. Sampai di sini, kita memahami, bahwa kemenangan Palestina bukan sekadar kemenangan teritorial, melainkan kemenangan atas kesewenang-wenangan yang bahkan lebih parah dari Fir’aun.