Kemenangan Besar – Di sebuah video, seorang anak Gaza nampak berjalan di antara puing reruntuhan. Langkahnya kecil, pakaiannya berdebu, tapi dari mulutnya mengalir hafalan Al-Qur’an dengan tartil yang khusyuk. Bukan karena dipaksa. Bukan karena akan mengikuti lomba, tapi karena Qur’an sudah menjadi bagian dari napas hidup mereka. Bahkan, ketika rumah mereka hancur dan langit menyala dengan bombardir tak henti, mereka tetap membuka Kalamullah dengan tenang dan begitu nikmatnya, seolah anak-anak yang terpaku pada tontonan favoritnya.
Anak-anak Gaza tidak menghafal di ruang ber-AC. Mereka melafalkan surah demi surah dengan cara bersautan dengan sirine peringatan, suara drone, dan bom yang bisa jadi meluluhlantahkan tubuh mereka. Mushaf mereka penuh debu, kadang robek, tapi tetap mereka peluk dan bawa. Di tengah dunia yang memuja kenyamanan, Gaza mengajarkan makna sejati dengan Al-Qur’an dan buahnya: dala keadaan paling hancur sekalipun, jiwa mereka tak ikut hancur, malah tetap kokoh berdiri menantang kekejian di barisan paling depan.
Ada seorang ibu yang kehilangan tiga anaknya akibat serangan udara. Dalam wawancara, ia tersenyum lirih dan berkata, “Mereka sudah kembali kepada Allah,” lalu melantunkan ayat dari Surah Al-Baqarah. Tidak ada tangisan histeris, hanya ada kepasrahan yang medalam, dan keyakinan yang tak bisa diguncangkan bahkan oleh kematian.
Para relawan medis pun di sela bunyi sirinenya, ia melafalkan pesan-pesan Ar-Rahman saat berjalan ke zona merah. Dalam satu laporan dari Middle East Monitor, disebutkan bahwa bahkan ketika ambulans mereka dihantam rudal, para petugas itu tak lepas dari pesan-pesan yang menguatkan jiwa mereka. Sampai di sini, kita dapat melihat jika Gaza bukan hanya tanah perjuangan. Ia adalah pesan kebebabasan bagi jiwa-jiwa yang tertawan oleh fatamorgana dunia.
Ketika dunia membuka notifikasi saat cemas, Gaza membuka mushaf. Ketika kita menunduk karena layar, mereka menunduk karena sujud.
Dunia “Nyaman” Yang Tertawan Layar Datar
Sementara Gaza membangun jiwa di atas reruntuhan, dunia luar—yang katanya damai—hidup dalam kenyamanan fisik, tapii kegelisahan batin. Kita bangun pagi dengan kasur empuk, makan tiga kali sehari, koneksi internet stabil, tapi hati tetap merasa kosong. Banyak orang yang punya waktu untuk nonton serial berjam-jam, tapi membaca satu halaman Qur’an terasa berat.

Menurut DataReportal 2024, rata-rata waktu penggunaan ponsel global saat ini mencapai 6 jam 37 menit per hari. Sebagian besar waktu ini digunakan untuk scroll media sosial, streaming video pendek, chatting ringan, dan bermain gim. Dunia semakin sibuk melihat layar, tapi makin sedikit melihat ke dalam diri.
Indonesia termasuk lima besar negara dengan screen time tertinggi menurut Statista (2024)—lebih dari 7 jam/hari. Kita duduk bersama keluarga, tapi tangan sibuk dengan ponsel. Kita berkendara, tapi mata sesekali melirik notifikasi. Bahkan saat beribadah, dering atau getar ponsel masih menyelinap mengganggu.
King University mencatat bahwa 66% pengguna merasa panik atau gelisah saat ponsel tidak ada di tangan. Ini disebut nomophobia: takut berlebihan jika jauh dari ponsel. Kondisi ini diperparah oleh FOMO (Fear of Missing Out), yang membuat kita merasa wajib online sepanjang waktu.
Studi dari Journal of Behavioral Addictions (2018) menemukan bahwa scrolling pasif di media sosial meningkatkan rasa kesepian, kecemasan, dan bahkan gejala depresi ringan. Kita tidak sadar: ponsel yang katanya “hiburan” itu perlahan mengikis ketenangan.
Ironisnya, saat stres atau sedih, pelarian yang kita cari justru ponsel. Kita tidak membuka mushaf, tapi membuka TikTok. Kita tidak membaca doa, tapi mengeluh di story WhatsApp. Padahal saat itu, yang kita butuhkan bukan validasi, tapi ketenangan.
Ketergantungan ini makin parah saat stres: “escape” ke media sosial, bukan refleksi diri.
Trigger internal muncul dari rasa bosan, kesepian, cemas, dan kosong spiritual. Ketika hati terasa hampa, kita refleks membuka layar—bukan untuk menyelesaikan sesuatu, tapi untuk mengalihkan rasa gelisah. Kita tidak sadar bahwa perilaku ini bukan produktif, melainkan bentuk pelarian.
Trigger eksternal muncul dari notifikasi, reminder, dan suara ping yang dibuat sedemikian rupa agar kita tak bisa mengabaikannya. Setiap desain aplikasi, warna, dan tombol dibuat berdasarkan riset psikologi adiktif. Ponsel kita adalah mesin dopamin kecil yang selalu memanggil minta disentuh.
Tristan Harris, mantan desainer etika di Google, bahkan menyebut:
“Aplikasi ini tidak dirancang untuk membantu kamu, tapi untuk membuatmu tidak bisa berhenti.”
Platform digital bukan sekadar alat, tapi arena adiksi. Dan kita adalah targetnya.
Ponsel tak bersalah, namun kita terbawa arus tanpa kendali sehingga menjebak mental kita dalam pusaran yang entah kapan berhentinya. Kita pikir kita sedang bersantai, padahal kita sedang menjauh dari diri kita sendiri—dan dari Allah.
Selain itu, terlalu lama menunduk ke layar berdampak langsung pada tubuh. Tech neck, carpal tunnel syndrome, dan mata kering adalah keluhan umum generasi digital. Bahkan WHO sudah menetapkan kelelahan digital sebagai salah satu masalah kesehatan abad ini.
Secara psikologis, efeknya lebih sunyi tapi menghantam: brain fog, sulit fokus, mudah tersinggung, dan cepat kelelahan. Kita merasa malas, padahal sebenarnya pikiran kita kebingungan karena overstimulasi digital.
Efek spiritualnya lebih dalam lagi. Kita kehilangan kenikmatan ibadah. Sujud menjadi rutinitas mekanis. Doa hanya lisan, bukan getar jiwa. Mushaf jadi penghuni rak, bukan teman malam.
Salah satu berita tragis pernah viral: remaja tertabrak mobil karena menatap ponsel saat menyeberang jalan. Dunia maya bisa membuat kita benar-benar lupa dunia nyata—bahkan lupa nyawa sendiri.
Ponsel adalah alat. Tapi tanpa akal dan ruh yang sadar, alat itu bisa menghancurkan kita perlahan.
Gaza: Menemukan Keteguhan di Tengah Kehancuran

Kembali ke Gaza. Di sana, tak ada notifikasi. Tapi ada suara ayat suci yang dibaca dari hati ke hati. Di sana, tak ada musik trendi, tapi ada zikir yang tak henti. Ketika kita sibuk mencari filter agar terlihat baik, mereka sibuk memperbaiki diri agar tetap tegar.
Anak-anak Gaza menghafal Qur’an bukan saat waktu luang, tapi di antara ledakan. Mereka tidak menunggu hari tenang, karena setiap hari adalah peluang terakhir. Mereka tahu: Qur’an bukan cadangan, tapi sumber kekuatan utama.
Bukan hanya anak-anak. Orang tua mereka pun memeluk Qur’an seperti memeluk anak sendiri. Seorang ayah mengatakan, “Jika saya mati, semoga mati dalam keadaan membaca Kalamullah.”
Gaza membuktikan: kekuatan tidak berasal dari senjata, tapi dari iman.
International Journal of Psychological Studies (2015) menemukan bahwa mendengarkan bacaan Al-Qur’an secara rutin dapat menurunkan kadar kortisol (hormon stres), memperlambat detak jantung, dan menciptakan ketenangan fisiologis.
Studi dari University of Jordan (2019) menunjukkan bahwa muraja’ah Qur’an secara konsisten meningkatkan konsentrasi dan daya ingat, terutama pada anak dan remaja. Qur’an bukan sekadar kitab, tapi charger ruhani yang menyambungkan kita ke pusat ketenangan: Allah.
Allah berfirman dalam Surah Ar-Ra’d ayat 28:
“Alaa bi dzikrillaahi tathma’innul quluub.”
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Imam Ibnul Qayyim menyebut Al-Qur’an sebagai syifaa’ (obat) bagi segala luka hati. Ketika dunia penuh kebisingan, Qur’an menjadi ruang hening yang menyembuhkan.
Kita tidak harus langsung jadi seperti anak Gaza. Tapi kita bisa mulai dengan satu langkah kecil: 5–10 menit tilawah sebelum tidur. Ganti satu kali scroll Instagram dengan mendengarkan surah Ar-Rahman. Ganti lirik lagu sedih dengan muraja’ah hafalan lama.
Kita semua sedang berproses. Tidak ada yang terlambat. Allah tidak menuntut siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling istiqamah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Hari ini, dunia memanggil lewat notifikasi. Tapi Allah memanggil lewat wahyu.
Pertanyaannya: kita ingin menjadi seperti mayoritas dunia, atau seperti rakyat Gaza?