Kemenangan Besar – Beberapa hari lalu, sebuah rekaman video viral menyebar di media sosial. Di tengah kegaduhan reruntuhan Gaza yang memerah oleh darah, seekor Lynk Mesir terekam menyerang tentara Israel di daerah gunung Harif. Karena serangan itu, beberapa tentara Israel terluka dengan tingkat cidera yang bervariasi. Barangkali sebagian orang akan menyebutnya insiden biasa. Namun, bagi mereka yang masih memiliki sisa rasa kemanusiaan, itu bukan sekadar “peneyrangan Lynk”. Itu adalah simbol perlawanan. Sebuah bahasa instingtif dari makhluk yang bahkan tak pernah membaca deklarasi HAM, tapi tahu benar mana yang salah dan mana yang menjijikkan.
Ketika bahkan Lynk tak tahan melihat ketidakadilan, pertanyaannya bukan lagi “apa yang sedang terjadi?” tapi “kenapa kita diam?” Kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina telah kita ketahui sudah jauh melewati batas kemanusiaan. Mereka bukan saja mereka membantai anak-anak, mencincang tubuh bayi, membakar rumah ibadah, dan menghabisi keluarga secara sistematis. Namun, melabeli bayi dan anak-anak sebagai teroris. Bahkan, ada laporan dari relawan medis yang mengungkap bahwa sebagian bayi di Gaza ditemukan dalam kondisi hangus bersama ibunya, tubuh mereka melekat jadi satu, terpanggang oleh api bom yang katanya demi keamanan nasional.
Ini bukan perang. Ini bukan konflik. Ini adalah penghancuran karakter kemanusiaan. Apa yang kita lihat bukan sekadar kekerasan fisik, tapi kekerasan moral dalam bentuk paling telanjang. Dunia sedang menyaksikan sebuah episode di mana nilai-nilai dasar peradaban diinjak-injak tanpa rasa malu. Ketika rumah sakit dibom, ambulans dihancurkan, dan anak-anak dibunuh sambil disoraki—apa lagi yang masih bisa disebut sebagai peradaban?
Psikologi moral menjelaskan bahwa manusia secara fitrah dilengkapi dengan sensitivitas terhadap kejahatan ekstrem. Paul Rozin menyebut istilah moral disgust—sebuah perasaan jijik mendalam yang muncul saat melihat pelanggaran terhadap nilai moral yang sangat mendasar. Membunuh bayi, membakar rumah sakit, menyakiti orang tak berdaya—itu semua bukan hanya salah, itu menjijikkan. Bukan hanya salah secara hukum, tapi juga mencederai fitrah kemanusiaan yang tertanam sejak kita bayi.
Dalam Islam, larangan menyakiti anak kecil adalah mutlak. Rasulullah ﷺ bahkan melarang membunuh anak-anak di tengah perang. Dalam hadits sahih riwayat Muslim, beliau bersabda:
لَا تَقْتُلُوا صَبِيًّا وَلَا امْرَأَةً
“Janganlah kalian membunuh anak-anak dan wanita.” (HR. Muslim, No. 1744)
Jika Israel mengaku bahwa yang mereka lakukan sebagai operasi militer, “menghancurkan teroris”. Maka, bagi Israel, anak-anak kecil ini merupakan teroris dan membunuhnya merupakan salah satu strategi militer. Seolah membunuh generasi adalah bagian dari perhitungan perang yang sah. Seolah masa depan bangsa bisa dihancurkan dengan logika statistik dan grafik korban yang dimasukkan dalam tabel taktis perang. Jika ditinjau dari perspektif hukum Internasional, jelas apa yang mereka lakukan ini salah.
Fenomena ini juga menjelaskan mengapa semakin banyak orang, bahkan non-Muslim, merasa mual saat melihat apa yang dilakukan oleh Israel. Jiwa mereka bereaksi secara natural. Dalam ilmu psikologi perkembangan, anak kecil yang melihat kekerasan pertama kali biasanya akan menangis atau memalingkan wajah. Itulah fitrah. Itulah moral awal manusia.
Namun jika kekejian terus dibiarkan, akan muncul desensitisasi moral—di mana otak mulai menormalisasi kejahatan. Kita mulai menyebut pembunuhan sebagai “respon militer”. Kita mulai menyebut kezaliman sebagai “strategi bertahan”. Kita menjadi mesin birokrasi yang tidak lagi merasa—hanya mencatat dan menyebarkan, bukan menjerit dan mendoakan.
Ketika Jijik Tak Lagi Terasa

Inilah bahayanya. Zalim itu menular. Seperti penyakit. Bahayanya lebih dalam dari sekadar luka fisik. Ketika masyarakat terbiasa melihat kekejaman tanpa merasa apa-apa, ketika kita scroll foto bayi terbakar lalu lanjut nonton video lucu seolah tidak ada yang terjadi, maka kita telah kehilangan sesuatu yang berharga—kemampuan untuk “merasa jijik” terhadap kejahatan. Itulah gejala awal penyakit moral.
Psikolog sosial Philip Zimbardo, dalam bukunya The Lucifer Effect, menyatakan bahwa manusia biasa bisa berubah menjadi pelaku keburukan ekstrem jika sistem di sekitarnya membenarkan kejahatan itu. Kita mungkin bukan pelaku pembantaian. Tapi jika kita diam, jika kita netral, jika kita berkata “semua pihak salah”—maka kita sedang menyuburkan sistem yang membuat kejahatan itu menjadi normal.
Kita melihat contoh serupa dalam sejarah: ketika pembantaian di Rwanda dibiarkan, ketika Nazi menyebar racun propaganda, ketika Bosnia dibakar, dan dunia memilih memalingkan wajah. Setiap tragedi genosida bukan hanya karena ada pelaku, tapi karena banyak yang diam.
Dalam tafsir Al-Qurthubi dijelaskan bahwa zalim bukan hanya pelaku, tapi juga orang yang membiarkannya.
وَلَا تَرْكَنُوۤا إِلَى ٱلَّذِینَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ ٱلنَّارُ
“Dan janganlah kalian condong kepada orang-orang zalim, karena api neraka akan menyentuh kalian.” (QS. Hud: 113)
Bayangkan bagaimana anak-anak Palestina menatap kita hari ini. Dengan mata kosong, dengan debu di rambut, dengan tubuh gemetar. Bukan karena dingin cuaca, tapi karena dunia yang dingin hatinya. Mereka tidak tahu kita siapa, tapi kita tahu mereka siapa: amanah yang dikhianati oleh peradaban modern.
Kucing Mengigit, Manusia Membisu
Hari ini, kita hidup di dunia di mana lebih banyak orang terbius oleh video berdurasi 30 detik tentang influencer bertengkar, ketimbang oleh video bayi Palestina yang kehilangan kepala karena bom. Dunia kehilangan rasa dan jika kita tidak melawannya, kita akan kehilangan diri kita sendiri.
Maka sekali lagi: ini bukan hanya tentang Palestina. Ini tentang siapa kita sebagai manusia. Ini tentang bagaimana kita memutuskan berdiri di antara barisan yang mencintai kehidupan atau yang membiarkan kematian dijadikan tontonan. Bahkan, binatang pun tahu siapa yang sedang menebar teror. Maka kalau kita masih bisa tersenyum di depan kekejaman, mungkin kita harus bertanya: masihkah kita lebih baik dari hewan?
Bayangkan suatu hari, anak kita bertanya: “Ayah, saat anak-anak Palestina dibantai, kamu ngapain?” Apa kita mau jawab, “Ayah lagi scrolling TikTok”? Atau “Ayah sibuk nge-like foto artis”? Ini bukan soal kita bisa mengubah dunia atau tidak. Ini soal kita memilih untuk tidak menjadi bagian dari dunia yang membiarkannya rusak.
Zalim itu seperti bau bangkai. Jika kita biarkan, ia akan menyebar ke seluruh ruangan. Jika kita tidak membersihkannya, baunya akan menempel ke tubuh, dan lama-lama jadi biasa. Maka satu-satunya cara untuk tidak ikut bau adalah membersihkan, atau paling tidak menutup hidung dan bilang: “Ini busuk.”
Kita bisa mulai dari mana saja: Yang pertama tentu do’a, kedua speak up – setidaknya repost konten-konten tentang Palestina, kalau ada waktu luang – bisa ikut aksi bela Palestina, keempat berpuasalah barang sebentar dari produk-produk yang berafiliasi pada Zionis, selanjutnya donasi. Dari obrolan dengan teman. Dari mengganti scroll hiburan jadi scroll kesadaran. Dari meyakinkan orang tua bahwa Palestina bukan konflik, tapi panggilan nurani. Dari menanamkan pada anak-anak bahwa membela yang lemah adalah bagian dari iman.
Jika kita tidak bisa jadi pelindung anak-anak Gaza, jangan sampai kita jadi bagian dari dunia yang ikut membiarkan mereka dibunuh. Jika kita tak punya kekuatan menyalakan pelita, jangan menjadi angin yang memadamkannya.
Zalim itu menular. Tapi kebaikan juga bisa menular. Maka sebarkan tulisan ini. Jadilah bagian dari gelombang penularan empati. Mungkin kita tak bisa menyelamatkan semua anak Palestina, tapi kita bisa menyelamatkan kemanusiaan dalam diri kita sendiri.
Dan barangkali, itu cukup untuk menjawab ketika Allah Swt. bertanya:
“Apa yang kamu lakukan saat saudara-saudaramu ditindas di depan matamu?”