Kemenangan Besar – Gaza hancur. Bukan hanya rumah-rumah, tetapi tubuh anak-anak, para tenaga medis, dan warga sipil yang dibunuh secara sistematis oleh militer Israel di “zona aman” yang justru dibombardir. Sejak Oktober 2023 hingga Juni 2025, lebih dari 54.000 warga Palestina gugur, termasuk 17.000 anak-anak dan hampir 500 tenaga kesehatan. Rumah Sakit Indonesia, RS Al-Quds, dan pusat-pusat bantuan seperti GHF Aid Distribution Hub dibom berkali-kali. Dunia tak lagi sekadar menyaksikan perang—ini adalah genosida yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa rasa malu.
Menurut Statuta Roma dan Konvensi Internasional Anti-Apartheid, apartheid adalah sistem penindasan terorganisasi berdasarkan identitas rasial atau etnis, yang dilakukan oleh satu kelompok untuk mendominasi kelompok lain. Berdasarkan definisi itu, Amnesty International dan Human Rights Watch telah menyatakan sejak 2021 bahwa Israel bukan hanya mendiskriminasi, tetapi menjalankan sistem apartheid penuh terhadap rakyat Palestina. Pernyataan mereka bukanlah opini, tetapi kesimpulan hukum berdasarkan bukti lapangan dan pola kebijakan negara.
Keputusan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada April 2025 yang mengeluarkan surat penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu karena kejahatan perang adalah pengakuan hukum tertinggi bahwa kejahatan ini nyata. Namun, kejahatan itu tidak lahir dari kevakuman; ia tumbuh dari keyakinan yang dipelintir, dari tafsir politik terhadap ajaran keagamaan, dan dari ideologi Zionisme yang menolak eksistensi Palestina sebagai bangsa.
Zionisme bukan hanya proyek nasionalisme, melainkan ekspansi kolonial yang dibalut narasi teologis eksklusif. Tokoh-tokoh Israel secara terbuka menyuarakan pandangan rasis. Bezalel Smotrich menyebut Palestina sebagai “bangsa fiktif” yang harus dihapus dari peta. Menteri Keamanan Nasional, Itamar Ben-Gvir, menyatakan bahwa hak hidup warga Yahudi lebih utama daripada hak hidup warga Palestina. Bahkan Rabbi Ovadia Yosef, mantan Kepala Rabbi Israel, pernah mengatakan bahwa non-Yahudi diciptakan untuk menjadi pelayan bagi Yahudi. Pernyataan ini tak pernah ditarik atau dikecam secara institusional.
Retorika ini bukan sekadar ucapan, tetapi kebijakan yang direalisasikan. Di Tepi Barat, dua sistem hukum berjalan bersamaan: warga Israel tunduk pada hukum sipil, sementara warga Palestina dijerat oleh pengadilan militer. Di Gaza, lebih dari 21 dari 36 rumah sakit kini lumpuh, sementara 13 klinik Palang Merah tutup akibat serangan. Warga Palestina terusir dari rumah-rumah mereka secara paksa, dan digantikan oleh pemukim Yahudi yang dilindungi tentara bersenjata.
Skema pengusiran di Sheikh Jarrah dan Silwan menjadi simbol dari pembersihan etnis yang dibungkus legalitas palsu. Proyek permukiman ilegal di Area C terus berjalan dengan percepatan yang didukung oleh legislasi domestik Israel, meskipun bertentangan secara terang dengan hukum internasional. Ketika warga Palestina membangun rumah, mereka dianggap melanggar hukum. Namun, ketika pemukim Yahudi mendirikan bangunan di atas tanah rampasan, mereka mendapat subsidi dan perlindungan.
Kebijakan ini diperkuat dengan kekerasan sistematis. Anak-anak Palestina ditangkap dan dipenjara tanpa dakwaan, dalam praktik yang disebut sebagai “penahanan administratif.” Menurut Defense for Children International, lebih dari 700 anak Palestina ditahan setiap tahunnya—banyak di antaranya disiksa, diinterogasi tanpa pendamping, dan dicabut masa kecilnya.
Wartawan yang mencoba mengungkap kebrutalan ini menjadi target selanjutnya. Serangan terhadap jurnalis Palestina bukan insiden acak, tetapi bagian dari upaya pembungkaman. Shireen Abu Akleh bukan satu-satunya. Pada Februari 2025, tiga wartawan ditembak mati di halaman RS Al-Quds oleh sniper Israel. Sementara itu, media arus utama global ditekan agar menyamarkan fakta sebagai “dua sisi narasi.”
Gaza telah menjadi laboratorium penindasan dan eksperimentasi kekuasaan. Blokade total, pemadaman listrik, dan pelarangan akses bantuan dijadikan alat kontrol populasi. Bahkan zona “aman”—yang diumumkan sepihak oleh Israel—sering kali berubah menjadi ladang pembantaian. Pada Mei–Juni 2025, lebih dari 100 warga sipil dibunuh saat antre bantuan di GHF Aid Hub.
Desmond Tutu, tokoh anti-apartheid Afrika Selatan, pernah berkata bahwa situasi di Palestina lebih buruk daripada di Afrika Selatan masa lalu. Jika dulu dunia mengecam apartheid di Pretoria, mengapa kini banyak yang memilih diam terhadap apartheid di Yerusalem dan Gaza?
Israel tak lagi bisa bersembunyi di balik narasi “konflik.” Ini bukan konflik dua pihak yang setara. Ini penjajahan terang-terangan oleh entitas kolonial bersenjata terhadap rakyat yang hanya ingin hidup merdeka. Apartheid Israel bukan tuduhan—ini kenyataan hukum dan moral yang terekam, terdokumentasi, dan disaksikan dunia.
Dunia Bangkit, tetapi Israel Masih Kebal: Mengungkap Hipokrisi Global

ika kejahatan apartheid ini sedemikian terang dan brutal, lalu mengapa Israel tetap kebal? Jawabannya ada pada kombinasi kekuatan lobi politik, dominasi media, dan hipokrisi negara-negara Barat. Amerika Serikat, misalnya, telah memveto lebih dari 45 resolusi PBB yang mendukung Palestina sejak 1972. Bahkan ketika ICC mengeluarkan surat penangkapan Netanyahu, Washington menolaknya tanpa pertimbangan keadilan.
Dukungan itu tidak hanya bersifat simbolik. Pada 2025, AS tetap mengucurkan dana militer senilai 400 juta dolar AS untuk program “bantuan kemanusiaan” yang ironisnya dikelola sepenuhnya oleh Israel. Bantuan ini hanya menjadi alat legitimasi kolonialisme, bukan bentuk kasih sayang.
Sementara itu, Jerman—negara yang sering mengklaim menjunjung tinggi hak asasi manusia—menolak menerapkan embargo senjata terhadap Israel dan terus mendukungnya di forum-forum HAM internasional. Negara-negara yang dulu bersuara keras melawan apartheid Afrika Selatan kini justru menjadi pelindung penjajahan Israel.
Namun, kesadaran global mulai menggeliat. Di Eropa, boikot akademik terhadap universitas dan lembaga riset Israel meningkat drastis. Universitas Barcelona menyerukan pengucilan Israel dari program Horizon Europe. Di Belgia, Université Libre de Bruxelles dan KU Leuven menghentikan kerja sama dengan institusi Israel. Bahkan di AS, mahasiswa di Duke University menuntut divestasi dari entitas yang terafiliasi dengan kejahatan perang Israel.
Rakyat pun bergerak. Di Jakarta, dua juta orang turun ke jalan membawa seruan boikot dan pembebasan Palestina. Di Turki, para relawan berlayar dengan Freedom Flotilla untuk menembus blokade Gaza. Afrika Selatan tidak hanya bersolidaritas, tetapi menggugat Israel ke Mahkamah Internasional.
Gerakan boikot juga memukul secara ekonomi. Carrefour ditutup di beberapa negara Arab, omzetnya anjlok. Starbucks mengakui penurunan pendapatan di Timur Tengah. Di Indonesia, gerakan #PilihLokal mendorong peningkatan penjualan kurma Tunisia dan Aljazair, serta menguatkan perlawanan ekonomi rakyat.
Namun, perjuangan ini menghadapi intimidasi. Di kampus-kampus Amerika, mahasiswa pro-Palestina diskors dan diancam deportasi. Aktivis yang bersuara dikriminalisasi dengan label “antisemit.” Narasi palsu ini dipelihara oleh lobi Zionis agar dominasi Israel tetap aman dari kritik.
Namun, tekanan justru memunculkan perlawanan moral. Selebritas dunia seperti Billie Eilish, Gigi Hadid, Pedro Pascal, dan Angelina Jolie berdiri bersama Gaza. Mereka bersuara lantang di tengah risiko boikot, tekanan kontrak, dan ancaman reputasi. Nurani tidak bisa ditindas selamanya.
Kita sedang berada pada ujian sejarah: apakah dunia akan tunduk pada penindasan yang dibungkus propaganda, atau bangkit bersama Palestina demi keadilan sejati. Ini bukan soal politik atau agama. Ini soal siapa yang berhak hidup merdeka dan siapa yang dizalimi.
Palestina bukan hanya tanah suci—ia adalah simbol perlawanan terhadap tirani. Dan di tengah reruntuhan Gaza, yang tumbuh bukan kehancuran, melainkan cahaya keteguhan. Kita tidak boleh diam. Sebab diam berarti menyetujui pembantaian. Diam berarti menolak menjadi manusia.