Guru-guru yang “Kebal” : Tonggak Kebangkitan Palestina

Kemenanganbesar.org – Masih ingatkah masa-masa Anda di sekolah dulu? Coba sebutkan mata pelajaran apa yang jadi paling favorit bagi Anda! Sebagian dari Anda mungkin akan menyebut seni atau olah raga, sebagian lagi Bahasa Indonesia. Kami yakin, sebagian lagi pasti ada yang menjawab Matematika, tapi pas guruya tidak hadir. Namun, kami yakin, itu bukan Anda.

Sekolah memang bukan hanya wahana untuk kita belajar ilmu, tapi juga membangun relasi sosial. Kami yakin, sebagian Anda menyimpan banyak kenangan dalam masa-masa sekolah, apakah menyenangkan, menyedihkan, atau bahkan menyebalkan. Sebagaimana Anda, begitupun bagi anak-anak di Palestina. Mereka sama dengan kita. Sayangnya, seklah mereka sudah hancur dibombardir penjajah Zionis Israel.

Salah satu anak sekolah yang kehilangan sekolah itu di antaranya Abed al-Qara, siswa kelas lima SD. Ia mengungkapkan pada  jurnalis reuters, bagaimana kenangan dirinya saat ia masih bersekolah tahun-tahun lalu. Mulai saat ia berjalan-jalan di lorong sekolah pada jam-jam istirahat hingga saat di ruang kelas.

“Kami akan keluar saat jam istirahat. Kami (juga) akan pergi ke kelas dan berjalan-jalan,” ucapnya yang sedang memeriksa kerusakan bersama temannya Muhammad al-Fajem di selatan Jalur Gaza.

“Para guru akan memberi kami buku-buku. Kami akan pergi ke sana (kelas) dan melihat siapa yang datang dan pergi; kami (juga) akan berdiri di gerbang sekolah. Kami (merasa) hidup,” kenang siswa berusia 10 tahun tersebut.

Kini, ia hanya bisa melihat bangunan yang penuh peluru. Kertas-kertas berserakan di ruang kelas yang hancur, dengan poster robek dari dinding dan buku-buku rusak.

Skolastisida

Sebagaimana dikutip oleh anadolu agency, Takriti, seorang profesor asosiasi sejarah dan Ketua Yayasan Pendidikan Arab-Amerika dalam Studi Arab di Universitas Rice di AS, menyebut hancurnya ekosistem pendidikan di Palestina sebagai “pemusnahan total pendidikan Palestina atau “skolastisida”, bukan hanya gedung sekolahnya yang hancur, tapi juga sistem pendidikannya. Ia dan kelompoknya, yang terdiri dari sarjana anti peperangan di Palestina di seluruh dunia, Scholar Against the War on Palestine (SAWP), mengungkapkan bahwa Israel telah mengebom semua Univesitas yang ada di Palestina sejak 7 Oktober 2023 lalu.

Total terdapat 11 Universitas, yakni Universitas Islam Gaza, Universitas Al-Azhar, Universitas Terbuka Al-Quds, Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan Terapan, Universitas Palestina, Universitas Israa, Universitas Gaza, Universitas Al-Aqsa, Perguruan Tinggi Teknik Palestina, Perguruan Tinggi Keperawatan Palestina, dan Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan Terapan Arab.

Akibatnya, sekitar 90.000 mahasiswa Palestina tidak dapat melanjutkan kuliahnya.

Para siswa tetap berangkat ke sekolah meski terancam pembunuhan oleh Zionis biadab, menjadi suluh harapan bangkitnya kembali Palestina di masa depan. FOTO/SINDOnews/Reuters

Untuk pendidikan dasar dan menengah, terdapat 370 bangunan sekolah yang hancur, yang mengakibatkan 620.000 tidak dapat kembali ke sekolahnya. Belum lagi tenaga pendidik dan akademisi yang dibunuh mencapai sekitar 231 orang, sedangkan 707 orang lainnya terluka. Total siswa yang meninggal mencapai 4.237 orang, lebih dari 7.800 siswa terluka.

Selain sekolah, delapan perpustakaan khusus dan empat perpustakaan universitas juga rusak, bahkan hancur.

Semua kondisi tersebut, kata Takriti, sangat mencerminkan  “scolastiside” atau “skolatisida”, sebagaimana yang diungkapkan pertama kali oleh Profesor Palestina di Universitas Oxford, Karma Nabulsi, seorang ahli hukum perang. Istilah ini menggabungkan awalan Latin ‘schola’ yang berarti sekolah, dan akiran Latin ‘cide’ yang berarti membunuh.

“Dia (Nabulsi) mengkonseptualisasikannya dalam konteks serangan Israel di Gaza pada tahun 2009, tetapi juga dengan mengacu pada pola serangan kolonial Israel terhadap para sarjana, siswa, dan lembaga pendidikan Palestina,” jelas Takriti.

Menurut Takriti, Nablusi menemukan, Israel melakukan “skolastisida” sebagai upaya “melawan tradisi pembelajaran di Palestina”.

Palestina: Pijar Pendidikan

Wajar jika Israel berhasrat menghancurkan pendidikan di Palestina. Negeri ini bisa dibilang sebagai pijar pendidikan dunia. Hal ini bisa kita lihat dari hasil pembelajaran di Palestina. Meski dalam kondisi terjajah, Palestina justru berhasil menurunkan buta huruf di kalangan masyarakat hingga 84% dalam dua dekade terakhir, terhitung sejak tahun 1997 hingga 2022. Sebagaimana dikutip oleh adararelief.com dari Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS) pada September tahun lalu.

PCBS menguraikan, angka buta huruf Palestina yang awalnya mencapai 13,9 persen pada 1997, turun drastis menjadi 2,2 persen pada 2022. Pada 2017, menurut data dari Galilee Association, tingkat buta huruf di kalangan penduduk Palestina berusia 15 tahun ke atas berjumlah 3,6%.

Proses pembelajaran yang kembali dimulai setelah setahun terhenti oleh seorang guru di tenda pengungsian. Tangkapan layar video Jurnalis di Palestina, mohammedzaanoun

Menurut sebuah penelitian, tingkat pendidikan, yang salah satunya diukur dengan angka melek huruf berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan. Maya (2024)[1], dalam penelitiannya menemukan, tingkat melek huruf atau literasi berkontribusi pada kemiskinan hingga 26%, sementara variabel lainnya berkontribusi sebanyak 76%.

Pencapaian tersebut, selain karena faktor para siswa yang tinggi semangat belajarnya, juga tak lepas dari kehadiran guru-guru di Palestina, yang tangguh sehingga “tak bisa dibunuh” kekejaman Israel.

Salah satunya, sebagaimana dilaporkan oleh salah satu warga Palestina lewat akun instagramnya, @haneen.maher.salem , bahwa para guru di sana berupaya bertahan dalam kondisi sult. Mereka berinisiatif untuk memberikan pengajaran pada para siswa setelah setahun vakum. Meski di bawah ancaman bombardir, tantunya dengan kebisingan suara drone – sesekali diselingi bom, di dalam tenda pengungian yang sederhana, mereka mengajar anak-anak nampak penuh semangat belajar. Dalam video tersebut, anak-anak yang diwawancara mengatakan, “kami akan tumbuh, kami akan belajar, dan kami akan membangun kembali tanah air kami”.

Melihat dedikasi para guru di Palestina, pantaslah di antara mereka, terdapat seseorang yang meraih pengharagaan sebagai guru terbaik di dunia, pada 2016 lalu. Ia adalah Hanan al-Hroub, seorang guru yang mendedikasikan dirinya untuk mengajar di dalam tenda-tenda pengungsian. Dengan moto-nya “tidak ada kekerasan”, ia berhasil meraih penghargaan Global Teacher Prize. Dalam buku karyanya, ia menulis pengalamannya sebagai guru berjudul “Kita Bermain, Kita Belajar”.

Penghargaan prestisius ini diberikan oleh Yayasan Varkey yang merupakan yayasan sosial persusahaan pendidikan internasional, GEMS pada Hanan setelah menyingkirkan peserta dari berbagai negara. Di antaranya, Inggris, India, Kenya, Finlandia, Jepang, Australia, Pakistan, dan Amerika Serikat.

Atas pencapaian ini, bahkan pemimpin gereja Katolik, Paus Fransiskus mengucapkan selamat saat mengumumkan kemenangan Hroub. “Saya ingin mengucapkan selamat kepada guru Hanan al-Hroub yang memenangi hadiah bergengsi ini,” ujar Paus Fransiskus dalam pesannya.

Tak hanya dari Paus Fransiskus, ucapan selama juga datang dari Pangeran Williams dari Inggris lewat video.

Hroub dibesarkan di kamp pengungsi Bethlehem dan sering mengalami kekerasan. Dia mengajar murid-murid sekolah dasar yang mengalami trauma karena menyaksikan penembakan dalam perjalanan pulang dari sekolah. Melalui pendidikan, Hroub mengembangkan hubungan saling percaya, hormat, dan kasih sayang. Ia juga mendorong anak-anak untuk berperilaku positif bersama-sama.

Kalau kita buka kembali sejarah kebangkitan Jepang setelah pemboman Hiroshima dan Nagasaki, kita akan menemukan strategisnya peran guru. Kaisar saat itu, tidak menanyakan jumlah tentaranya yang tersisa, melainkan berapa jumlah guru yang tersisa saat itu. Menjawab keheranan pasukan militernya, Kaisar saat itu menjawab, bahwa memang betul pasukan Jepang kuat, namun nyatanya Jepang tidak bisa membuat bom yang bisa meluluh lantahkan Jepang hari itu.

Setelah mengumpulkan sekitar 45.000 guru, Jepang bertumpu pada mereka. Hanya 20 tahun setelahnya, Jepang kembali bangkit, menjadi salah satu negara maju, padahal dunia memprediksi Jepang perlu 50 tahun untuk bangkit.

Artinya, selama guru-guru di Palestina masih ada, selama itu pula harapan Palestina akan bangkit kembali ada, biidznillaah.

[1] Hendrikus Moya, Ria Indriani, Sindy Alolya, dan Reni Oktaviani. “Pengaruh Angka Buta Huruf Terhadap Tingkat Kemiskinan di Provinsi Tenggara Barat. Jurnal Sutasoma, Juni 2024