Kemenangan Besar – Dalam sebuah potongan video di Instagram, seorang anak lelaki di Eropa berdiri sendiri memegang bendera Palestina. Sementara, di seberangnya, beberapa orang dewasa pendukung Israel. Namun, bocah itu tak bergeming. Ia tetap berdiri, tegap, tenang. Ia bukan sekadar simbol; ia adalah gema dari Gaza, tempat ribuan anak telah gugur, tapi satu pun tidak sia-sia.
Apa yang kita saksikan dari anak itu bukan keberanian instan. Itu adalah warisan panjang dari tanah yang tak pernah hening dari derita dan do’a. Anak-anak Gaza dibantai, namun semangat mereka justru menyebar ke mana-mana. Layaknya bunga dandelion yang tampak rapuh, sekalinya mereka gugur justru menyebar ke mana-mana. Ditiup kekejaman, ia justru terbang lebih jauh, menyentuh lebih banyak hati.
Dalam artikel Kompasiana (2024), disebutkan aksi solidaritas global untuk Palestina meningkat pesat sejak 2023. Dari New York hingga Jakarta, dari Cape Town hingga Berlin, puluhan juta orang turun ke jalan. Bukan karena politik, tapi karena hati. Mereka “terbangun” karena menyaksikan sesuatu yang tak bisa dibantah: keberanian dan ketabahan tulus rakyat yang tak meminta apa-apa selain hidup bermartabat.
Bagaimana mungkin rakyat yang tak punya listrik, tak punya roti, dan tak punya pelindung rudal bisa begitu kuat? Jawabannya bukan pada alat dan teknologi canggih, tapi pada aqidah. Yusuf Al-Qaradawi, dalam buku Iman dan Kehidupan, menjelaskan, keberanian sejati bersumber dari iman. “Keberanian itu lahir dari kesadaran akan kekekalan hidup, bukan semata karena tidak takut mati,” tulisnya. Bagi warga Gaza, kematian bukan akhir, melainkan justru pintu perjumpaan. Ya mereka bersedih dengan kehilangan, namun mereka begitu cepat memulihkan diri dan kembali membangun kehidupan seolah hari esok masih ada, tanpa mengenal putus asa.
Dalam Psikologi modern, kita dapat menemukan hikmahnya. William James menemukan hal yang sama: orang yang memiliki keyakinan spiritual punya daya tahan emosional lebih tinggi. Mereka lebih stabil di bawah tekanan, lebih siap menghadapi ketidakpastian. Itulah sebabnya rakyat Palestina, meski terluka, bisa segera kembali tersenyum. Mereka tahu: penderitaan bukan musuh mereka. Mereka memang lelah, namun mereka tak pernah kehilangan arah i—dan arah itu, selayaknya orang beriman, selalu kembali ke Rabb-nya.
Sayyid Jamaluddin Al-Afghani menguatkan, iman yang dimaksud adalah iman pada qadha dan qadar. Keimanan terhadap qadha dan qadar membuat seseorang lebih berani daripada binatang buas. “Seorang mukmin yang memahami takdir tidak akan takut kepada makhluk apa pun di bumi sebab ia telah menyerahkan semuanya pada Yang Mahakuasa,” ungkapnya. Maka wajar jika anak Gaza berdiri tanpa takut, sementara tentara Israel yang bersenjata justru menyebutnya “ancaman.”

Ya, Israel yang bersenjata lengkap justru takut pada anak kecil. Dalam wawancara yang dikutip oleh berbagai sebuah media, seorang warga Israel berkata: “Kami tembak mereka sekarang, karena jika besar nanti, mereka akan menyerang kami.” Apakah yang kamu rasakan saat seorang dewasa, yang mampu memikul senjata mengatakan hal semacam itu? Ini adalah paranoia yang lahir dari kesadaran kolektif, mereka tak bisa selamanya dilindungi oleh teknologi dan propaganda.
Israel gemetar bukan saja pada pasukan kemerdekaan Palestina, tapii karena mereka tahu bahwa setiap anak yang mereka bunuh akan melahirkan seribu saksi yang bersumpah tidak akan lupa. Mereka tahu, dunia perlahan menyadari siapa korban dan siapa penjarah. Itulah mengapa mereka terus menggandakan mesin propaganda. Namun, sekali lagi dandelion tak bisa ditangkap dengan pagar. Sekali beterbangan, ia akan tumbuh di hati siapa pun yang jujur melihat luka itu.
Perjuangan Palestina Adalah Penawar Rasa Putus Asa Dunia
Dalam Kompasiana edisi Desember 2024, disebutkan bahwa gelombang solidaritas global terhadap Palestina bukan lagi sekadar aksi politik. Ia telah menjelma sebagai gerakan nurani. Masyarakat yang sebelumnya apolitis, kini membawa bendera Palestina di festival budaya, konser musik, bahkan acara olahraga. Mereka bukan mendukung perang. Mereka mendukung harapan.
Dukungan ini bukan fenomena kosong. Ini adalah bentuk kesadaran bahwa Palestina mewakili perlawanan terhadap kebusukan zaman: rasisme yang disamarkan sebagai nasionalisme, ekstremisme yang dibungkus demokrasi, dan kolonialisme yang dibungkus retorika keamanan. Palestina adalah alarm moral: selama dunia diam, artinya kita sedang membiarkan ketidakadilan menjadi standar baru.
Yusuf Al-Qaradawi mengatakan, umat yang beriman tidak akan pernah tunduk pada kebatilan, meski ia sendirian. Ia akan bersuara, meski suara itu gemetar. Itu karena keberanian bukan berarti tidak takut—tetapi tetap berdiri meski takut. Inilah keberanian yang kini tumbuh di kalangan muda, aktivis, bahkan selebriti dunia yang mulai bicara lantang untuk Gaza.
Di tengah dunia yang diselimuti apatisme dan konten hiburan tanpa henti, Palestina menjadi satu dari sedikit isu yang menyatukan semua lapisan hati. Seperti dandelion, perjuangan ini memang tampak kecil, rapuh, dan ditiup angin oleh kekuatan besar. Namun, justru karena ditiup itulah, ia menyebar. Keberanian itu menyebar ke hati orang-orang biasa yang ingin luar biasa.
Kini, kita tidak bisa lagi berkata, “Aku hanya satu orang.” Karena satu orang sudah cukup untuk berdiri melawan kerumunan, seperti bocah di video tadi. Satu orang bisa menjadi pembawa api kecil yang menyalakan puluhan obor lain karena kebenaran tidak butuh banyak—ia hanya butuh cukup untuk tak padam.
Dalam Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 249, Allah Swt. berfirman,
“كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةًۢ بِإِذْنِ ٱللَّهِ”
“Berapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.”
Palestina hari ini adalah fī’ah qalīlah—kelompok kecil yang menang bukan dengan senjata, tapi dengan keberanian, iman, dan daya hidup moral. Mereka memberi inspirasi, bukan instruksi. Mereka tidak meminta kita mengangkat senjata—mereka hanya ingin kita jangan menurunkan nurani.
Maka, jika hari ini kita merasa lelah, kecewa, atau putus harapan—ingatlah di Gaza, ada anak kecil yang berdiri sendiri melawan sepasukan manusia bersenjata. Ia selayaknya anak-anak di sekitar kita, yang senangnya bermain, tak bersenjata pun berteknologi canggih. Namun, ia punya satu hal yang tidak bisa dibeli dengan seluruh harta dan senjata tercanggih Israel: keberanian yang lahir dari iman.
Mereka gugur, tapi keberanian mereka tak ikut mati. Keberanian mereka menyebar, menetap, lalu tumbuh di hati siapa pun yang masih percaya bahwa kebenaran akan selalu layak diperjuangkan.