Kemenangan Besar – Padahal sebegitu mengerikannya penjara penjajah Israel, namun Moath Abu Ramouz bersedia menukar kebebasannya dengan saudaranya. Berkat poin kesepakatan pembebasan tawanan pada gencatan senjata, ia bisa saja bebas dua bulan lebih cepat. Hanya, jiwa pahlawannya menolak untuk menukarnya dengan deportasi dari Palestina. Meski hanya dua bulan, penjara penjajah Israel, bukan hanya membelenggu sehingga membatasi penghuninya, namun juga menyuguhkan siksaan. Bisa mati di sana itu lebih baik, namun ini menyiksa orang hingga melampaui batas kesadaran manusia biasa.
Moath merupakan salah nama yang tertuang dalam daftar tahanan yang dibebaskan sesuai kesepakatan pertukaran tahanan pada gencatan senjata kali ini. Namun, ia dan keluarganya menolak masuk dalam daftar, bahkan menganjurkan para negosiator mengganti namanya dengan saudaranya yang lain. Alasannya, berselang dua bulan, dia memang akan bebas lantaran masa tahannya memang habis. Ia dihukumi oleh penjajah Israel 18 tahun penjara dan ia telah menghabiskan masa tahanan selama 17 tahun 10 bulan. Artinya, dua bulan lagi dia akan bebas.
Selain itu, Moath dan keluarga juga keberatan dibebaskan sesuai kesepakatan pertukaran tahanan lantaran syaratnya. Moath boleh bebas hari ini, namun ia harus dideportasi dari Palestina.
Sewajarnya, manusia biasa, seharusnya ia senang bisa dibebaskan lebih cepat dari tahanan dan bisa keluar dari “neraka dunia” di Palestina. Namun, jiwanya yang tertawan oleh kepahlawanan menolaknya. Ia justru memilih berada dalam “neraka” sehingga dapat memberikan kebebasannya pada orang dengan masa tahanan yang lebih lama dan ia juga memilih tetap berada di Palestina sehingga ia dapat “menukarkan darahnya” untuk kemerdekaan yang belum tentu ia nikmati.
Masalahnya, meski dua bulan, penjara penjajah Israel bukan penjara yang bisa “dinikmati” manusia, layaknya penjara di Jepang. Daripada kesepian, lansia di Jepang sampai memilih untuk masuk penjara sehingga ada yang merawat mereka. Namun, penjara penjajah Israel, bukan sekadar “menahan” dalam jeruji besi, namun penuh dengan siksaan. Sebagaimana dikutip oleh new arab berdasarkan kesaksian para mantan tawanan Israel, di sana mereka ditahan dengan sewenang-wenang tanpa proses peradilan. Di dalamnya, mereka tak diberi akses komunikasi. Bahkan, berdasarkan beberapa bukti, terungkap penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan, perlakuan kejam, bahkan merendahkan kemanusiaan seseorang. Akibatnya, hingga November 2024 lalu, sekitar 53 warga Palestina meninggal di dalamnya.
Kesaksian dari para tahanan dan laporan dari kelompok-kelompok hak asasi Palestina dan internasional mengatakan tindakan kekerasan yang mengerikan itu meliputi pelecehan seksual, sengatan listrik, dan waterboarding, perampasan tidur, pemutaran musik keras hingga telinga para tahanan berdarah, dan pemerkosaan berkelompok.

Berikut adalah salah satu kesaksian dari seorang tahanan Israel. Bakr, seorang sarjana hukum, ditangkap oleh tentara Israel pada tanggal 5 Januari. Ia sedang bersama tiga orang temannya mencari tepung dan makanan di Tal Al-Hawa di Kota Gaza. Di saat itulah mereka ditembaki oleh tentara Israel. Dua orang temannya langsung terbunuh, yang ketiga terluka, dan Bakr ditahan setelah menderita luka di kaki kirinya, lengan kanan, dan perut.
Dia mengatakan seluruh masa tahanannya “mengerikan”, tetapi ada salah satu jenis penyiksaan yang tidak mungkin ia lupakan. “Seekor anjing memperkosa sandera lain di depan mataku,” Bakr menuturkan kepada The New Arab dengan kesedihan yang nyata, alisnya langsung berkerut.
Diborgol dan ditutup matanya, Bakr adalah salah satu dari tiga tahanan yang ditarik keluar dari sel dan dibawa ke halaman aspal, di mana mereka diperintahkan untuk berdiri dalam barisan, kenangnya. “Pria di sebelah kanan saya dipanggil untuk maju, ia ditelanjangi secara paksa oleh sekitar 10 hingga 12 tentara, yang mendorongnya hingga merangkak, pergelangan tangan dan kakinya diikat,” kata Bakr kepada The New Arab .
“Mereka kemudian menyiramkan cairan ke pantatnya dan hewan itu langsung menyerangnya dan memperkosanya. Kepanikan langsung terjadi. Tahanan itu – tak berdaya, terkejut, dan kesakitan – menjerit dan berteriak ketakutan, mencoba menyentak dan mendorong anjing itu menjauh tetapi tidak berhasil, dan kami juga tidak bisa. Kami juga berteriak bahwa ini harus dihentikan. Kami tidak dapat berbuat apa-apa. Tidak dapat mempercayai apa yang terjadi,” tutur saksi dan penyintas yang trauma.
Dengan siksaan seperti itu, apakah dua bulan itu sebentar? Tentu amat wajar jika seseorang tak ingin berada di dalamnya meski sehari dan ingin segera keluar meski dengan harga apapun. Namun, Moath malah “menyia-nyiakan” kesempatan agar dia bisa segera keluar dari “neraka” dunia tersebut. Padahal tak ada alasan yang benar sama sekali di balik penahanan para tawanan ini. Kalaupun ada ialah perlawanan karena tanah mereka dirampas. Kalau lihat Bakr, kita lihat tidak ada kejahatan sama sekali, semata-mata karena kebetulan terlihat oleh pasukan penjajah Israel, lalu dia dan kawan-kawannya ditembaki dan ditangkap.
Siapapun pasti tak ingin kemerdekaan dirinya terampas. Lihatlah, para pelaku kejahatan di negara lain, padahal ia nyata-nyata bersalah, mencuri uang rakyat triliunan bahkan ratusan triliun, namun ia bersedia mengeluarkan sebagian dari hasil curiannya agar ia bisa bebas atau setidaknya mendapatkan fasilitas nyaman di dalam penjara. Siapapun, tak ingin masuk penjara kecuali ia ada dua hal di dalam dirinya. Pertama, merasa kesepian di dunia layaknya para lansia di Jepang. Kedua, karena jiwa pahlawan yang bersemayam dalam jiwa seseorang.
Menggilapkan Pijar Kepahlawanan
Pahlawan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sebagai orang yang berjuang dengan gagah berani membela kebenaran. Secara etimologis, ada juga yang memaknai pahlawan berasal dari akar kata “pahala” dan berakhiran “wan”, pahlawan. Artinya, mereka yang berjasa bagi perjuangan menegakkan kebenaran semata-mata demi memperoleh pahala. Namun, dalam hal ini penulis memaknai pahlawan sebagai orang yang mampu mengorbankan kepentingan diri demi tegaknya kebenaran atau demi kepentingan yang lebih besar.
Dalam hal ini, Moath mengorbankan kebebasannya dari tahanan hari ini dan menyerahkan dirinya tertahan dalam penjara selama dua bulan. Kita tak dapat melihat keuntungan materi sama sekali dengan apa yang dikorbankannya, kecuali ia kepuasan jiwa karena dapat memberi kebebasan pada sesamanya dan juga ia dapat berkorban lebih banyak lagi untuk Palestina dengan ia tak mesti keluar dari wilayah Palestina.
Sejatinya setiap orang, memiliki jiwa-jiwa kepahlawanan. Pun, orang-orang di sekitar kita atau barangkali Anda sendiri. Berdasarkan definisi di atas, kita dapat mengatakan ayah yang sampai tertidur di atas motornya karena kelelahan adalah pahlawan. Ia mengorbankan waktunya, tenaganya, dan juga hasil kerjanya tersebut tanpa mengharapkan balasan dari keluarganya. Ia melakukannya semata karena rasa tanggung jawabnya dan rasa cinta pada keluarganya. Pun, seorang Ibu yang menumpahkan darahnya, menahan rasa sakit saat melahirkan. Tak ada keuntungan materi, kecuali rasa cinta dan sayang pada anak yang ia kandung.
Jiwa kepahlawanan itu fitrah. Pertanyaannya, bagaimana cara kita merawat jiwa tersebut sehingga jiwa tersebut, alih-alih meredup karena ego sesaat, namun tumbuh meluas bagi orang-orang di sekitar kita layaknya Moath. Dalam pengorbanannya, bukan hanya Moath yang berkorban, namun juga keluarganya. Keluarganya juga berkorban dan menahan siksa kerinduan berjumpa dengan Moath. Kalau kita perhatikan, banyak dari anggota keluarga di Gaza adalah orang-orang yang sangat optimis dengan apapun ketetapan Rabb-nya. Itulah pangkal dari indahnya sikap mental mereka saat didera siksa.

Orang-orang Palestina sangat yakin akan masa depan yang jauh lebih baik layaknya keyakinan mereka pada terbitnya Matahari dari Timur di pagi hari; tak main-main, yang dikorbankan adalah hilangnya rasa sakit selama di tahanan dan peluang kemerdekaan; bertemu dengan istri, anak, maupun orang tua. Layaknya Nabi Musa As. saat dikejar oleh Fir’aun. Umatnya sempat mengungkapkan keputusasaan. Namun, Nabi Musa As. tetap optimis bahwa mereka akan lolos dari kejaran Fir’aun karena yakin Allah Swt. bersama dirinya. Allah Swt. berfirman dalam Qur’an surat Asy-Syu’ara ayat 61-67,
فَأَتْبَعُوهُم مُّشْرِقِينَ
Maka Fir’aun dan bala tentaranya dapat menyusuli mereka di waktu matahari terbit.
فَلَمَّا تَرَٰٓءَا ٱلْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَٰبُ مُوسَىٰٓ إِنَّا لَمُدْرَكُونَ
Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”.
قَالَ كَلَّآ ۖ إِنَّ مَعِىَ رَبِّى سَيَهْدِينِ
Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”.
فَأَوْحَيْنَآ إِلَىٰ مُوسَىٰٓ أَنِ ٱضْرِب بِّعَصَاكَ ٱلْبَحْرَ ۖ فَٱنفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَٱلطَّوْدِ ٱلْعَظِيمِ
Lalu Kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.
وَأَزْلَفْنَا ثَمَّ ٱلْءَاخَرِينَ
Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain.
وَأَنجَيْنَا مُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُۥٓ أَجْمَعِينَ
Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya.
ثُمَّ أَغْرَقْنَا ٱلْءَاخَرِينَ
Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu.
Kedua, mereka juga yakin dengan janji Allah Swt. akan balasan akhirat kalau pun harus kehilangan nyawa; tak main-main yang dikorbankan nyawa. Dengan dua keyakinan tersebut, maka apapun yang Allah Swt. tetapkan bagi mereka tentu baik. Bertahan hidup dapat memetik kemerdekaan di masa depan, meninggal pun mereka yakin akan menjadi syuhada. Kabar ini, Allah Swt. sampaikan pada kita dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 154,
وَلَا تَقُولُوا۟ لِمَن يُقْتَلُ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمْوَٰتٌۢ ۚ بَلْ أَحْيَآءٌ وَلَٰكِن لَّا تَشْعُرُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
Lagipula, kebebasan atau kemerdekaan sejati bagi orang beriman ialah ketika ia mampu tidak bergantung sama sekali pada makhluk atau materi yang bersifat sementara. Bagi mereka, selama mereka bersama Allah Swt. itulah kemerdekaan yang sejati. Buktinya, ada orang-orang yang justru terbelenggu oleh ketenaran atau harta sehingga melakukan segalanya untuk meraihnya. Mereka mengira uang dan ketenaran dapat “membebaskannya”. Nyatanya semakin dikejar, semakin kuat dimiliki malah jadi sibuk untuk menjaganya. Artinya, mau di manapun dalam kondisi apapun, seorang beriman pada Allah Swt. akan tetap merdeka, tanpa syarat, asalkan bersama Allah Swt. Dalam Qur’an, surat Ali Imran ayat 173, Allah Swt. berfirman
ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدْ جَمَعُوا۟ لَكُمْ فَٱخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَٰنًا وَقَالُوا۟ حَسْبُنَا ٱللَّهُ وَنِعْمَ ٱلْوَكِيلُ
(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”.
Paradigma tersebut-lah yang menjadi nutrisi utama orang-orang di Palestina sehingga mereka mampu teguh meski dalam kondisi tersiksa sekalipun. Maka, jika kita ingin jiwa kepahlawanan itu tumbuh subur sehingga mampu meminggirkan kebutuhan keluarga sekalipun, binalah diri kita dan keluarga kita dengan iman pada firman Allah Swt. layaknya Moath dan para pejuang Palestina yang meski berada dalam jeruji penuh siksa, ia tetap mampu melihat peluang yang lebih besar dari peluang yang ada di depan mata.