Kemenangan Besar – Di balik langit Gaza yang tak lagi biru, gumpalan asap dan reruntuhan tak hanya menandai kehancuran fisik, tapi juga peradaban. Yang paling menyakitkan bukan hanya suara ledakan, melainkan rekaman tentara Israel yang tertawa di atas tank saat menembakkan roket ke rumah penduduk. Dunia menyaksikan bukan perang, tapi kejahatan yang dipertontonkan dengan rasa bangga.
Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, menyebut warga Palestina sebagai “hewan” dan mengancam akan menjatuhkan pemerintah jika Gaza tidak segera diduduki secara total. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, meski dililit kasus korupsi, terang-terangan menolak putusan Mahkamah Internasional. Ia menganggap hukum global tidak relevan bagi Israel. Ini bukan hanya bentuk kezaliman—ini keangkuhan yang menjijikkan.
Ideologi Zionisme modern telah keluar dari kerangka etnik-agama dan menjadi bentuk baru dari kolonialisme supremasi. Seperti apartheid di Afrika Selatan dahulu, mereka mengklaim keistimewaan sebagai bangsa “terpilih”, lalu menjadikan tanah Palestina sebagai proyek penindasan permanen. Arogansi ini tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan dijaga oleh jaringan politik, ekonomi, dan propaganda global.
Namun, mereka lupa satu hal penting: kekuasaan yang pongah biasanya buta. Israel merasa diri tak tersentuh, padahal mereka sangat bergantung pada dunia luar—dalam bentuk teknologi, suku cadang militer, dukungan diplomatik, dan suplai logistik. Di atas kertas mereka kuat, tapi sejatinya rapuh—karena mereka bukan berdiri di atas hak, melainkan di atas relasi yang bisa runtuh kapan saja.
Dunia kini mulai sadar dan tak lagi tinggal diam. Di Inggris, demonstran mengepung pabrik senjata dan kantor pemerintah yang terkait ekspor alat militer ke Israel. Di Spanyol, ribuan turun ke jalan menuntut pemutusan hubungan militer. Di Belanda, pengadilan memerintahkan pelarangan penjualan pesawat ke Israel. Di AS, Golden Gate Bridge diblokade, sementara ratusan ditangkap saat menduduki gedung Kongres untuk menuntut gencatan senjata.
Dari Maroko hingga Jepang, dunia mulai menggugat. Mereka menolak darah Palestina ditukar dengan kontrak bisnis. Mereka menuntut agar rantai pasok militer ke Israel dihentikan. Ini bukan semata protes—ini titik balik sejarah. Israel tidak lagi berada di puncak legitimasi global, dan perlahan, mereka mulai ditinggalkan oleh nurani dunia.
Jihad Konsumen dan Kekuatan Kita yang Sebenarnya

Kini kita perlu bertanya pada diri sendiri: jika dunia saja mulai bangkit, bagaimana dengan kita di Indonesia? Kita adalah salah satu pasar konsumen terbesar di dunia. Tanpa sadar, kita telah “menyumbang” triliunan rupiah tiap tahun ke jaringan ekonomi yang terafiliasi dengan penjajahan Israel.
📊 Beberapa fakta yang perlu direnungkan:
- McDonald’s Indonesia mencatat omzet sekitar Rp7,7 triliun pada tahun 2023 (Warta Ekonomi).
- KFC Indonesia meraup Rp4,61 triliun, namun pada 2024 mencatat kerugian hingga Rp796,71 miliar akibat gelombang boikot konsumen (CNBC Indonesia), (Detik Finance).
- Kuartal pertama 2024, pendapatan mereka turun 60%.
Ini bukan sekadar angka. Ini bukti nyata bahwa pilihan konsumen bisa menjadi peluru paling sunyi namun mematikan. Dalam sistem ekonomi global, kita bukan penonton. Kita adalah pelaku yang bisa memilih dan pilihan itu bisa mencabut napas industri yang menyokong kezaliman.
Brand-brand besar seperti Nestlé, Danone, Coca-Cola, Starbucks, Unilever, Zara, dan PepsiCo—memiliki catatan kontribusi atau afiliasi dengan entitas pro-Israel. Kita diajak berpikir bahwa tanpa mereka, kita tidak bisa hidup. Namun, Gaza membuktikan sebaliknya: manusia bisa hidup tanpa listrik, tanpa roti, tapi tidak tanpa harga diri.
Justru dari Indonesia—tanpa peluru, tanpa tank, tanpa veto—kita bisa melawan, yakni dengan menolak jajan sembarangan. Dengan memilih produk lokal dan engan mengalihkan uang ke donasi Palestina. Setiap tindakan ini bukan kecil. Ia merupakan bentuk jihad. Dalam Qur’an, surat As-Shaf ayat 10-11, Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ (١٠) تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١١
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari adzab yang pedih.. Engkau beriman kepada Allah dan Rasulnya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya. ”.
Menurut Mahasiswa Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Sendangagung Paciran Lamongan dalam artikel yang ditulisnya dalam Tanwir.id mengatakan, “dilihat dari sebab-turun QS. As-Saff [61] ayat 10-11, telah memberikan penawaran bagi orang-orang yang beriman tentang amal yang dicintai Allah dan paling afdhal daripada mereka berjihad tapi tidak pernah melakukannya baik memukul, menusuk maupun membunuh. Andaikata mereka mengetahui, niscaya mereka akan turut ikut memberikan harta benda dan keluarga.”
Di sini, Allah Swt. “membuka peluang” pada mereka yang belum mampu berjihad dengan cara berhadapan langsung dengan musuh. Hal ini semakin ditegaskan dalam sebuah hadits. Rasulullah ﷺ bersabda:
“من جهز غازيا في سبيل الله فقد غزا”
“Barang siapa yang mempersiapkan perlengkapan bagi orang yang berjihad di jalan Allah, maka ia telah dianggap berjihad pula.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi, boikot bukan sekadar tren media sosial. Ia adalah jihad finansial. Donasi bukan sekadar pengalihan dana. Ia adalah deklarasi keberpihakan. Setiap klik, setiap rupiah, setiap pilihan belanja kita, bisa menjadi bagian dari perlawanan global yang menumbangkan rasisme dan tirani.
Israel pongah karena mereka pikir dunia akan terus diam, tapi sekarang dunia bersuara. Mereka sombong karena mereka pikir tak ada yang bisa melawan. Namun, sekarang, umat sedang menyusun kekuatan dalam sunyi.
Anda mungkin orang biasa—pekerja, ibu rumah tangga, pelajar, pengusaha, aktivis— namun, Anda tetap bisa menjadi bagian dari sejarah ini. Kita bisa memutus pasokan, membalik sistem, dan mengalirkan ulang arah keadilan.
Membela Palestina hari ini bukan hanya soal tanah, namun soal menjaga fitrah manusia untuk tidak tunduk pada tirani. Lewat perjuangan ini, kita ingin mengatakan: cukup sudah keangkuhanmu.