Kemenangan Besar – Tepat setahun sejak perjuangan kemerdekaan Palestina memasuki babak baru, yakni pada 7 Oktober 2023 lalu. Mengapa “perjuangan”? Karena di balik reruntuhan bangunan di Palestina, ada gelombang perjuangan yang masif, baik dari masyarakat secara umum maupun dari mereka yang berada di garis depan. Menariknya, meski kehilangan nyawa dan harta dalam jumlah banyak, kita masih bisa menemukan senyum yang menyiratkan harapan. Sementara, di daerah yang aman, kita menemukan banyak orang depresi.
Kalau lihat kondisi di Palestina, wajar saja jika mereka mengalami kecemasan atau kekhawatiran. Bagaimana tidak, rumah mereka hancur, orang-orang terdekat mereka banyak yang meninggal. Pun, masa depan mereka “tidak jelas” dengan dihancurkannya sekolah dan universitas. Setidaknya itu yang orang lain lihat di Palestina. Namun, apa yang paling sering kita temukan keluar dari mulut mereka? Ya, “Alhamdulillah”. Justru pujian bagi Allah Swt.
Yang menarik, justru 18% orang dewasa – lebih dari 1 dari 6 orang – di Amerika Serikat, mengatakan kalau mereka mengalami depresi, bahkan sedang menerima perawatan untuk depresi. Secara keseluruhan, jumlah tersebut meningkat lebih dari 7 poin sejak tahun 2015. Padahal, Amerika, konon merupakan negara maju secara ekonomi, bahkan merupakan negara adidaya yang menguasai ragam teknologi dan ekonomi dunia. Sebagaimana dipublikasikan oleh CNN.com.
Fenomena tersebut juga terdeteksi di negara kita di Indonesia. Survei yang dilakukan oleh Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), menemukan satu dari tiga remaja di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Angka ini setara dengan sekitar 15,5 juta hingga 2,45 juta remaja di Indonesia.
“Remaja dengan gangguan mental mengalami gangguan atau kesulitan dalam melakukan kesehariannya yang disebabkan oleh gejala gangguan mental yang ia miliki,” terang Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, M.Sc., Sc.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM yang merupakan peneliti utama I-NAMHS, sebagaimana dipublikasikan dalam website ugm.ac.id.
Data-data tersebut kami tunjukkan bukan untuk membandingkan. Justru, lewat tulisan ini, kami ingin mengajak agar kita semua belajar dari masyarakat Palestina dalam menghadapi persoalan hidupnya. Tantangan dunia dikatakan oleh para ilmuwan semakin kompleks dan sulit diprediksi. Butuh jiwa yang tangguh sekaligus fleksibel sehingga mampu beradaptasi dalam waktu yang relatif singkat. Masalahnya, justru generasi yang digadang-gadang sebagai generasi emas itu kini justru menjadi “generasi cemas”. Karenanya, kita amat membutuhkan untuk menggali tambang ketenangan yang dimiliki oleh masyarakat Palestina.
Kalau dilihat dari level kehilangan, teror yang dihadapi, bayangkan kalau kita yang harus menghadapi situasi di Pelestina hari ini. Satu sisi, tentu kita iri bahwa masyarakat Palestina begitu dekat dengan pintu surganya. Namun, kita pun punya “perang”-nya tersendiri. Palestina sudah mengorbankan terlalu banyak. Kalau kita belum bisa berkontribusi, setidaknya kita dapat mengambil hikmah dari perjuangan mereka.
Dengan darahnya, dengan hartanya, mereka berkorban sehingga kita hari ini sadar dengan pentingnya berjuang atau berjihad. Maka, jangan sampai kita tidur lagi. Mari ambil hikmah yang banyak dari masyarakat Palestina agar suatu saat kita bisa turut berjuang bersama mereka.
Menggali Ketenangan
Ketika seseorang menghadapi kegagalan atau kehilangan, terguncang jiwanya, meletup emosinya, dia akan berhadapan dengan satu kondisi untuk memilih; terlarut dengan emosinya atau dia segera sadar. Masalahnya, sebagian remaja atau orang-orang dewasa justru terlarut dengan emosinya. Kalau orang sudah tenggelam dalam emosinya, dia akan mengalami depresi, hingga tidak bisa berbuat apa-apa.
Namun, tidak dengan masyarakat Palestina. Meski mereka kehilangan kerabatnya, bahkan orang tercintanya, mereka tetap bisa beraktivitas dan melanjutkan hidup mereka. Mulai dari orang dewasa, bahkan anak-anak mereka. Yang dewasanya, ada yang melanjutkan hidup dengan berdagang, bahkan melanjutkan karir arsiteknya. Anak-anaknya, meski kehilangan lengannya, ada yang melanjutkan kesukaannya bermain biola meski harus mengikatkan bow biolanya pada lengannya atasnya. Bahkan, pada bulan September lalu, ada yang mulai kembali ke sekolahnya, meski di dalam tenda.
Pertanyaannya, apa yang membuat mereka dapat bersikap seperti itu? Sebenarnya, petunjuk agar kita mendapatkan ketenangan, dapat kita temui di dalam Al-Qur’an. Penduduk Palestina, khususnya di Gaza, merupakan penduduk dengan tingkat literasi sangat tinggi, termasuk dalam hal ini terliterasi dengan Al-Qur’an; yang di dalamnya mengandung ajaran soal bagaimana menyikapi ragam persoalan dalam hidup.
Pertama, mereka yakin bahwa apa yang mereka alami adalah bagian dari skenario Allah Swt. Mereka yakin, apa yang menimpa mereka, meski terlihat buruk, sejatinya baik di mata Allah Swt. Kami pernah menyaksikan, bagaimana seorang petugas medis yang harus menyelamatkan orang-orang dari reruntuhan, namun ia sendiri terancam terkena bom. Dia terus menguatkan jiwanya dengan mengulang-ngulang ayat Al-Qur’an. Inilah bentuk kesabaran sebagaimana yang dimaksud dalam surat Al-Baqarah ayat 155-156. Allah Swt. berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar,
اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ
yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguhnya, kami milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali).
Dalam hal ini, kita melihat, orang-orang Palestina bukan sekadar hafal Al-Qur’an, namun menjadikan Al-Qur’an sebagai “multivitamin bagi jiwanya”. Caranya, dengan menjadikan ayat-ayatnya sebagai wirid. Bahkan, kami yakin Anda pun sudah sering mendengar kisah para pasien yang harus diamputasi tanpa obat bius, dan Al-Qur’an menjadi gantinya. Termasuk di dalamnya, kisah seorang Ibu yang harus melahirkan dengan cara sesar.
Pun ketika anggota keluarganya ada yang meninggal, mereka amat yakin bahwa anggota keluarganya meninggal keadaan mulia, bergelar syuhada. Ya, mereka bersedih, mereka berduka, namun jiwa mereka terobati dengan keyakinan tersebut. Tentu kita sudah tahu bagaimana keutamaan mereka yang syahid. Sejatinya mereka tidak mati, justru mereka hidup. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 154,
وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَنْ يُّقْتَلُ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَمْوَاتٌ ۗ بَلْ اَحْيَاۤءٌ وَّلٰكِنْ لَّا تَشْعُرُوْنَ
Jangan kamu mengatakan bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah telah mati. Sebenarnya, mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
Ketika terguncang jiwa seseorang, emosi membanjir, orang-orang biasanya kalut jika tak segera mencari tambatan. Namun, orang-orang Palestina memilih untuk tidak larut di dalamnya. Mereka segera mencari pegangan, yakni Allah Swt. lewat janji-janji-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an. Itulah sabar pada pukulan pertama, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
Dari Anas bin Malik, beliau berkata,
مَرَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِامْرَأَةٍ تَبْكِى عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ « اتَّقِى اللَّهَ وَاصْبِرِى » . قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّى ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِى ، وَلَمْ تَعْرِفْهُ . فَقِيلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – . فَأَتَتْ بَابَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ فَقَالَتْ لَمْ أَعْرِفْكَ . فَقَالَ « إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى »
”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kuburan. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Bertakwalah pada Allah dan bersabarlah.” Kemudian wanita itu berkata,”Menjauhlah dariku. Sesungguhnya engkau belum pernah merasakan musibahku dan belum mengetahuinya.” Kemudian ada yang mengatakan pada wanita itu bahwa orang yang berkata tadi adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita tersebut mendatangi pintu (rumah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia tidak mendapati seorang yang menghalangi dia masuk pada rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian wanita ini berkata,”Aku belum mengenalmu.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya namanya sabar adalah ketika di awal musibah.” (HR. Bukhari, no. 1283)
Selanjutnya, mereka pun mengiringinya dengan shalat. Lihatlah bagaimana orang Palestina memahami shalat sebagai peluruh beban, bukan sebagai beban. Dalam keadaan barus saja dibom, anak-anak di Palestina bersegera melaksanakan shalat malam. Pun, dalam keadaan masjid hanya tersisa puing-puing, mereka tetap bersemangat mendatanginya. Inilah sikap orang beriman yang benar. Dalam Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 155, Allah Swt. berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
Hai, orang-orang beriman! Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat. Sesungguhnya, Allah beserta orang-orang yang sabar