Kemenangan Besar — Di tengah ramainya generasi muda yang menghindari pernikahan, di tengah genosida, dengan khidmatnya, pasangan muda-mudi Gaza merayakan pernikahan. Padahal kalau bicara beban hidup, jelas beban hidup mereka lebih berat; tanpa sumber daya, apalagi kekayaan. Generasi muda hari ini melihat pernikahan sebagai gangguan di tengah perjalanan karirnya, padahal pernikahan dapat menjadi sarana meraih “sakinah”. Mereka melihat pernikahan sebagai beban di tengah proses baktinya pada orang tua, padahal setiap insan membawa serta jatah rizkinya, bahkan bisa menambah keberkahan dalam kehidupan.
Dilansir oleh kompas.com, Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Laporan Statistik Indonesia mencatat pada 2023, rata-rata usia pernikahan pertama meningkat dari 22 tahun menjadi 25-26 tahun dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Sedangkan pada 2024 tercatat penurunan angka pernikahan pada 2023 sebanyak 128.093 dibandingkan tahun sebelumnya. BPS mencatat angka pernikahan pada 2023 tercatat sebanyak 1.577.255, padahal tahun 2022 angka pernikahan mencapai 1.705.348. Angka ini merupakan angka terendah sejak 1997/1998.
Pernikahan yang dahulu dianggap sebagai tujuan hidup kini semakin tersingkir dari prioritas banyak anak muda Indonesia. Fenomena ini mencerminkan pergeseran nilai di mana pernikahan tidak lagi menjadi keharusan, melainkan pilihan yang sering ditunda. Hal ini berakar dari kebutuhan akan kestabilan finansial, fokus pada karir, dan pengembangan diri. Survei yang dilakukan oleh Kompas pada 2022 mengungkap bahwa 67% responden anak muda mengaku lebih memilih untuk fokus membangun karir sebelum menikah. Alasan ini juga didukung oleh keinginan untuk membahagiakan orang tua terlebih dahulu sebelum mengambil tanggung jawab baru dalam pernikahan. Ini menjadi alasan dominan yang sering diungkapkan anak muda sebagai bentuk pengabdian kepada keluarga mereka.

Selain alasan karir dan keluarga, kekhawatiran terhadap tanggung jawab menjadi orang tua juga menjadi hambatan besar bagi banyak anak muda. Beberapa dari mereka merasa memiliki anak akan memperbesar beban finansial di tengah tekanan hidup yang sudah berat. Dengan meningkatnya biaya hidup, khususnya di kota besar, banyak yang memutuskan untuk menunda bahkan menghindari pernikahan demi stabilitas ekonomi.
Selain itu, takut gagal dalam pernikahan turut menjadi faktor penyebab penundaan. Anak muda yang tumbuh di keluarga dengan pengalaman perceraian menjadi skeptis terhadap institusi pernikahan itu sendiri. Hal ini diperparah dengan paparan media sosial yang sering menyoroti konflik rumah tangga secara dramatis sehingga menciptakan persepsi bahwa pernikahan penuh risiko.
Di sisi lain, perubahan nilai-nilai budaya turut memengaruhi prioritas hidup anak muda. Gaya hidup modern yang mengutamakan kebebasan individu membuat banyak orang merasa pernikahan justru dapat membatasi ruang gerak mereka. Mereka lebih memilih mengejar kebahagiaan personal melalui perjalanan, pendidikan, atau gaya hidup independen dibandingkan berkomitmen untuk membangun keluarga.
Namun, tren ini menyisakan pertanyaan mendasar: apakah kehidupan yang dihabiskan untuk mengejar kesenangan dan kebebasan tanpa komitmen benar-benar dapat memberikan kebahagiaan sejati? Di sinilah peran penting untuk memahami bahwa pernikahan bukanlah penghalang kesuksesan, melainkan fondasi untuk menciptakan kehidupan yang lebih bermakna.
POV Pemuda Palestina Terhadap Pernikahan
Di Gaza, Palestina, pemuda menghadapi tantangan hidup yang jauh lebih berat, namun tetap menjadikan pernikahan sebagai prioritas. Di tengah penjajahan berkepanjangan yang memuncak sejak 7 Oktober 2023, jumlah pernikahan dan kelahiran di wilayah ini tetap tinggi. Tidak ada data pasti yang menyebutkan angka pernikahan di Gaza, hanya sebagai gambaran, CNNIndonesia mencatat, pada Januari 2024 saja, terdapat 20.000 kelahiran bayi sejak 7 Oktober 2023. Hal ini membuktikan bahwa semangat untuk membangun keluarga tidak pernah padam meski dalam situasi sulit.
Bandingkan dengan Indonesia, di mana tren pernikahan justru menurun meskipun kondisi negara jauh lebih aman dan stabil. Data BPS menunjukkan bahwa tingkat pernikahan pada 2022 mengalami penurunan sekitar 10% dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa persoalan pernikahan di Indonesia lebih bersifat kultural dan psikologis daripada akibat tekanan eksternal seperti perang atau krisis ekonomi.
Pemuda Palestina memandang pernikahan sebagai simbol harapan di tengah keterbatasan. Dengan tingkat pengangguran yang mencapai 45% dan blokade ekonomi yang menghambat akses ke kebutuhan dasar, mereka tetap memilih untuk membangun keluarga. Dalam tradisi Palestina, pernikahan dipandang sebagai bentuk ketahanan sosial dan perjuangan untuk mempertahankan eksistensi bangsa mereka.
Kondisi serba sulit ini tidak membuat mereka kehilangan semangat. Sebaliknya, pernikahan di Gaza menjadi bentuk perlawanan simbolis terhadap penjajahan dan ketidakadilan. Mereka percaya bahwa setiap kelahiran adalah tanda harapan di tengah genosida oleh penjajah Israel. Keyakinan ini mendorong mereka terus melanjutkan kehidupan meski dengan sumber daya yang sangat minim.
Bagi pemuda Palestina, pernikahan merupakan jalan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi berikutnya. Meski serba sulit, mereka memprioritaskan keluarga sebagai pusat kehidupan mereka. Sikap ini menjadi inspirasi bagi anak muda Indonesia melihat pernikahan bukan sebagai beban, melainkan peluang untuk membangun kehidupan yang lebih bermakna.
Semangat pemuda Palestina juga mengajarkan kebahagiaan sejati tidak selalu bergantung pada keadaan materi. Dalam situasi apa pun, keluarga adalah fondasi yang dapat memberikan kekuatan, dukungan, dan harapan. Ini adalah pelajaran yang penting untuk direnungkan oleh generasi muda Indonesia.
Pertanyaannya, apa yang melatarbelakangi cara pandang para pemuda Palestina ini? Sebagaimana kita tahu, rakyat Palestina merupakan masyarakat yang sangat lekat dengan Al-Qur’anul Kariim. Mereka menjadikan firman Allah Swt. sebagai cara pandang mereka terhadap dunia di sekitar mereka, selain tentu menjadikannya sebagai panduan berperikehidupan dengan benar.
Itu artinya, para pemuda Palestina memandang pernikahan sebagai sumber ketenangan hidup, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, dalam surat Ar-Rum ayat 21. Allah Swt. berfirman,
وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Pernikahan bukan sekadar ikatan fisik, melainkan sarana untuk menemukan makna hidup yang lebih dalam.

Bandingkan dengan gaya hidup modern yang sering mengejar kesuksesan individual tanpa memperhatikan hubungan personal. Di puncak karir, banyak orang justru merasa kesepian dan kehilangan makna hidup. Kasus seperti Robin Williams, seorang aktor terkenal Hollywood, menunjukkan bagaimana kesuksesan materi tidak dapat menggantikan kebutuhan akan hubungan emosional yang bermakna.
Selain itu, pernikahan menjadi cara untuk melanjutkan generasi yang lebih baik. Dalam Islam, pernikahan dianjurkan untuk melahirkan keturunan yang berkualitas. Keturunan ini menjadi harapan untuk meneruskan perjuangan dan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. Namun, generasi penerus yang baik tidak muncul begitu saja. Mereka memerlukan pendidikan dan perhatian yang memadai. Lewat firman-Nya dalam Qur’an surat An-Nisa ayat 9, mengingatkan umat Islam untuk menjaga anak-anak sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Melalui pernikahan, tanggung jawab ini dapat dilaksanakan dengan lebih baik dan terarah. Allah Swt. berfirman,
وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Contoh nyata pentingnya keluarga terlihat dari fenomena di Jepang, di mana para lansia mengalami krisis kesepian. Banyak dari mereka yang memilih tinggal di penjara karena tidak memiliki keluarga yang peduli. Dalam Islam, anak sholeh adalah sumber kebahagiaan di masa tua, Dalam Qur’an surat Al-Furqan ayat 74, Allah Swt. berfirman,
وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
Pernikahan juga memberikan ketenangan batin yang tidak bisa digantikan oleh pencapaian duniawi. Dengan pasangan yang mendukung, seseorang dapat menghadapi tantangan hidup dengan lebih kuat dan penuh harapan. Ini adalah pengingat bahwa pernikahan adalah investasi untuk kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.