Kemenangan Besar – Di balik kabut genosida yang menyelimuti Gaza, sebuah retakan besar tengah menggerogoti pondasi kekuasaan Israel dari dalam. Sejak awal 2023, gelombang demonstrasi masif membanjiri jalanan Tel Aviv, Yerusalem, hingga Haifa. Bukan hanya ribuan, tetapi ratusan ribu warga Israel turun ke jalan, menuduh pemerintahan Netanyahu sebagai ancaman nyata bagi demokrasi mereka.
Puncaknya terjadi pada Maret 2025, ketika ratusan ribu massa kembali memenuhi bundaran Habima dan kompleks Knesset, menuntut diakhirinya reformasi yudisial yang dinilai menggerus independensi hukum. Sejumlah jenderal, mantan kepala Mossad, hingga pengusaha papan atas turut bersuara. “Netanyahu tidak hanya menyeret kita ke perang, tetapi juga ke jurang otoritarianisme,” kata mantan Jaksa Agung Avichai Mandelblit.
Judicial overhaul menjadi pemicu utama. Namun, seiring berjalannya waktu, protes berkembang menjadi ekspresi luas kekecewaan publik atas kebijakan brutal di Gaza, inflasi ekonomi, dan polarisasi sosial yang makin membelah negeri itu. The Guardian (20/3/2025) menyebut protes ini sebagai “the most intense internal backlash since Israel’s founding.”
Suara peluit, teriakan massa, dan derap langkah ribuan orang menggema di sepanjang Rothschild Boulevard, Tel Aviv. Ini bukan sekadar unjuk rasa biasa. Ini adalah salah satu protes terbesar dalam sejarah modern Israel, yang mencerminkan kegelisahan nasional terhadap arah masa depan demokrasi mereka.
Sejak awal 2023 hingga awal 2025, demonstrasi demi demonstrasi mengguncang pusat-pusat kota Israel. Kesan abainya pemerintah pada keselamatan sandera yang kemudian bermuara pada reformasi yudisial yang didorong oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menjadi pemicu utama. Namun, seperti bara dalam sekam, protes ini berkembang menjadi manifestasi kemarahan kolektif yang lebih dalam.
Ribuan orang, tua-muda, sekuler dan religius, berkumpul setiap akhir pekan di Tel Aviv, Yerusalem, dan Haifa. Mereka memegang spanduk bertuliskan “Demokrasi dalam Bahaya” dan “Kami Tidak Akan Diam.” Menurut France24, yang terbit pada 8 Juli 2023, puluhan ribu warga turun ke jalan menolak reformasi yang mereka nilai membungkam independensi peradilan.
Isu ini bukan hanya soal hukum. The Guardian melaporkan bahwa para demonstran menyebut reformasi itu sebagai “serangan terhadap demokrasi.” Reformasi ini akan memberi kekuasaan eksekutif kendali lebih besar atas penunjukan hakim, mempersempit ruang yudisial untuk menguji keputusan pemerintah.
“Kami tidak akan menerima pengusiran demokrasi,” teriak seorang demonstran dalam laporan OPB pada Maret 2025 lalu. Bagi mereka, perjuangan ini adalah tentang mempertahankan nilai-nilai dasar republik.
Namun, demonstrasi bukan hanya reaksi terhadap reformasi. Laporan Jerusalem Post pada Maret 2025 lalu dan OPB menyebutkan bahwa protes terbaru juga dipicu oleh trauma perang Gaza. Ribuan orang yang sebelumnya diam kini angkat suara, marah atas ketidakpekaan pemerintah terhadap korban sipil dan krisis kemanusiaan yang berkelanjutan.
Situasi ini semakin memburuk ketika polisi menangkap 12 demonstran di dekat kediaman Netanyahu di Yerusalem Barat, menurut Anadolu Agency. Momen itu memperkuat narasi bahwa pemerintah tak lagi toleran terhadap oposisi publik.
PBS NewsHour (2025) bahkan mencatat bahwa mantan kepala militer dan intelijen ikut turun ke jalan, memperingatkan bahwa reformasi ini bisa “menghancurkan fondasi demokrasi Israel”. Salah satu di antara mereka berkata, “Kami bukan melawan reformasi, tapi melawan pengambilalihan demokrasi oleh elit politik.”
VOA (2025) menyebut demonstrasi kali ini sebagai gerakan lintas kelas dan ideologi. Dari guru hingga veteran militer, dari aktivis LGBTQ+ hingga kelompok ortodoks, semua turun ke jalan menyuarakan satu hal: rasa kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.

Le Monde (6/4/2025) menyebut bahwa Sabtu kini menjadi hari “peleburan amarah rakyat.” Demonstrasi di Tel Aviv tak ubahnya festival perlawanan rakyat yang dikurasi oleh trauma sejarah, amarah kontemporer, dan harapan masa depan.
Yuval Noah Harari, sejarawan ternama asal Israel, menegaskan bahwa negara Yahudi ini tengah kehilangan moralitasnya. “Kita tidak bisa mengklaim sebagai demokrasi dan pada saat yang sama membombardir anak-anak di Gaza,” ujarnya di sebuah forum internasional.
Kuat Namun Rapuh di Dalam
Momen pecahnya bangsa ini dari dalam seperti telah digambarkan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat Al-Hasyr ayat 14:
لَا يُقَٰتِلُونَكُمْ جَمِيعًا إِلَّا فِى قُرًى مُّحَصَّنَةٍ أَوْ مِن وَرَآءِ جُدُرٍۭ ۚ بَأْسُهُم بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ ۚ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُونَ
Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti.
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai tanda ketakutan internal yang menggrogoti musuh-musuh Allah dari dalam. Ketika mereka tidak lagi berdiri di atas kebenaran, mereka pun menjadi rapuh di hadapan dirinya sendiri. Protes-protes di Israel hari ini menjadi bukti betapa negara ini sedang mengalami keretakan psikologis dan spiritual yang serius.
Profesor Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, pernah berkata: “Sebuah negara yang menindas minoritasnya akan selalu gagal menjaga stabilitasnya sendiri.” Israel adalah contoh nyata. Kebijakan diskriminatif terhadap Palestina kini berbalik menjadi ketakutan yang meledak di jantung negaranya sendiri.
Dalam perspektif psikologi massa, teori Gustave Le Bon menunjukkan bahwa ketika individu bergabung dalam kerumunan, rasionalitas individu bisa larut, digantikan oleh emosi kolektif. Di Israel hari ini, puluhan ribu massa menyatu dalam kemarahan yang tidak lagi bisa dikendalikan elit politiknya.
Lebih dari 200 ribu orang turun ke jalan pada Maret 2025, menurut laporan PBS NewsHour. Mereka tidak lagi sekadar membawa spanduk, tetapi mengusung tuntutan penggulingan pemerintahan Netanyahu. Menurut Anadolu Ajansi (20/3/2025), Polisi menangkap belasan demonstran di depan kediaman resmi sang perdana menteri.

Menurut analisis Le Monde (6/4/2025), Tel Aviv kini menjadi “ibu kota kemarahan”. Demonstrasi rutin setiap Sabtu menjelma ritual oposisi rakyat terhadap rezim yang kehilangan legitimasi moral. Dari elite militer hingga mahasiswa, semua bersatu menolak arah kebijakan negara.
Noam Chomsky, filsuf ternama Amerika, menyebut Israel sebagai “negara apartheid yang tengah runtuh oleh berat tubuhnya sendiri.” Ia menegaskan bahwa tekanan internasional dan resistensi internal adalah dua kekuatan utama yang akan menggiring perubahan.
Menuju Krisis Legitimasi dan Tanggung Jawab Dunia
Krisis yang terjadi di tubuh internal Israel hari ini bukan hanya soal domestik. Ini adalah pantulan dari kesewenang-wenangan yang dibiarkan dunia selama puluhan tahun. Saat rakyat Gaza dibantai, sebagian rakyat Israel mulai sadar bahwa kekerasan demi kekuasaan hanya akan kembali menghantam rumah mereka sendiri.
Dalam hal ini, Netanyahu menghadapi dilema besar. Jika ia mundur, maka warisan politiknya hancur. Jika ia bertahan, protes akan semakin brutal. Secara teori politik, ini dikenal sebagai power entrapment—jebakan kekuasaan yang membuat penguasa tidak bisa lagi mundur atau melangkah tanpa konsekuensi besar.
Sikap yang seharusnya ia ambil? Berhenti membunuh rakyat sipil, membuka ruang dialog internal dan eksternal, serta menerima tekanan internasional sebagai jalan perubahan. Tapi seperti banyak tiran sebelum dia, Netanyahu tampaknya memilih mempertahankan singgasana meski dibayar dengan kehancuran bangsanya.
Ilmuwan Muslim kontemporer, Prof. Tariq Ramadan, pernah berkata, “Sebuah kekuasaan yang dibangun di atas kebohongan dan darah takkan bisa bertahan lama di bawah cahaya kebenaran.” Kalimat ini menjadi sangat relevan hari ini.
Apa yang terjadi di Israel hari ini bukan hanya protes politik. Ini adalah tanda bahwa kezalimannya telah mencapai titik jenuh, hingga rakyatnya sendiri mulai muak. Namun Israel tidak akan berhenti begitu saja. Rezim brutal hanya tunduk ketika kekuatan moral dunia bersatu menghadapinya.
Oleh karena itu, kita tidak boleh diam. Suara-suara dari dunia Islam dan masyarakat global harus terus bergema. Kampanye digital, aksi damai, edukasi publik, semua menjadi senjata moral yang lebih kuat dari bom.
Jangan lelah bersuara untuk Palestina. Karena setiap suara kita adalah bukti bahwa Israel tidak akan pernah bisa mematikan nurani dunia. Dan karena hanya dengan terus bersuara, kita menjaga nyala harapan di Gaza.