Kemenangan Besar – Pada Ramadan 2025, suara hafalan Al-Qur’an mengisi udara dingin di antara tenda-tenda pengungsian. Di tengah debu reruntuhan dan jeritan bayi yang kelaparan, sekelompok anak-anak mengulang ayat-ayat Al-Qur’an, saling setor hafalan, dipandu oleh seorang Ustadza. Meski tak ada masjid yang utuh, tak ada roti, tak ada air bersih, tap cahaya Al-Qur’an tetap menyala di dada-dada kecil yang lapar namun tegar.
Hari itu, dapur umum terakhir di Rafah kehabisan bahan makanan. Israel telah menutup total perbatasan sejak awal Maret 2025. Data Oxfam menyebutkan, lebih dari 90% penduduk Gaza kini mengalami krisis pangan akut, dengan lebih dari 65% tidak lagi memiliki akses terhadap air minum layak. Namun, siapa sangka, di tengah krisis kelaparan yang disengaja ini, warga Gaza justru semakin erat dengan Al-Qur’an?
Kondisi sulit pada bulan Ramadahan nyatanya tak mampu membuat warga Gaza menjadikannya alasan berhenti mengajar dan belajar Qur’an. Ramadhan kali ini, nyatanya tetap menjadi musim paling ramai: malam-malam tadarus, dzikir berjamaah, hafalan bersama anak-anak yang tidur di tenda pengungsian. Dalam laporan lapangan (Ramadan 2025), banyak relawan masih mengadakan halaqah tahfizh walau dengan mushaf fotokopian.
Fenomena ini bukan anomali. Gaza sudah dikenal sejak lama sebagai tanah para penghafal Qur’an. Jika kita mengatakan, Al-Qur’an itu sarana buat “hiburan” saja di masa sulit, nyatanya di masa yang masih ada sedikit kelapangan pun, sebelum 7 Oktober 2023, tercatat lebih dari 50.000 huffaz di Gaza, menjadikannya salah satu wilayah dengan konsentrasi penghafal tertinggi di dunia (Kementerian Wakaf Palestina, 2023). Masjid bukan hanya tempat shalat, tapi juga madrasah, tempat berkumpul, dan ruang penyembuhan jiwa. Tradisi ini tetap hidup—bahkan di antara tenda pengungsian dan di balik reruntuhan.

Mengapa mereka tidak menyerah? Karena bagi warga Gaza, Al-Qur’an alih-alih target harian, apalagi beban, melainkan peta bertahan hidup. Ayat-ayat tentang sabar, jihad, dan janji kemenangan bukan sekadar teori, tetapi menjadi napas harian. Pantaslah, Ibu yang melahirkan sesar tanpa anestesi, anak yang harus diamputasi tanpa anestesi, mampu menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai “hiburan” di kala perih-perihnya operasi. Mereka melafalkan
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ…
(Surat An-Nahl: 127)
Ulama Palestina pernah berkata: “Kami tidak bisa membeli senjata, tapi kami bisa menyimpan ayat-ayat Allah di dada anak-anak kami.” Dalam keadaan serba minim, mereka tetap mengisi waktunya dengan wahyu. Dalam Al-Qur’an, surat Al-Isra ayat 82, Allah Swt. berfirman,
وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.
Kesabaran bangsa Palestina bukan semata karena tradisi atau budaya. Ia bersumber dari pemahaman bahwa hidup ini ladang ujian, dan Al-Qur’an adalah cahaya penuntunnya. Mereka tidak menunggu kondisi ideal untuk berinteraksi dengan kitab suci—karena bagi mereka, justru Al-Qur’an adalah yang membuat mereka tetap waras di tengah kegilaan dunia.
Tak kalimat “nanti saja” untuk Al-Qur’an karena besok belum tentu ada. Mungkin hari ini kesempatan terakhir untuk mengajarkan anaknya surat Al-Fil. Mungkin ini malam terakhir untuk membaca surat Al-Insan di pangkuan ibu. Waktu bukan kemewahan di Gaza—tetapi setiap detik adalah investasi ruhani.
Ponsel, Timeline, dan Kalamullah: Kita Sedang Lupa Apa?
Sekarang mari kita menengok ke dalam diri sendiri. Kita bangun pagi, langsung membuka notifikasi. Kita stres, langsung buka Instagram. Kita sedih, scroll TikTok. Apakah semua itu salah? Tidak. Tapi kita melupakan sesuatu yang lebih dulu Allah Swt. turunkan:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Mari kita jujur: kita tidak membuka Al-Qur’an bukan karena tidak sempat, tapi karena belum bisa menganggapnya penting. Kita tidak merasa bahwa membaca Qur’an itu mendesak. Padahal, saat hati lelah dan hidup terasa hampa, yang kita butuhkan bukan sekadar konten lucu—tetapi ayat yang menenangkan luka-luka jiwa.
Kita mungkin akan dengan mudah menemukan orang yang —karirnya moncer, rupawan, cerdas. Namun, ketika ditanya: “Kapan terakhir kali kamu membaca satu halaman Qur’an penuh?” Ia terdiam. Lama. Lalu menjawab pelan: “Kayaknya… dua pekan lalu.” Ia bukan orang jahat. Ia hanya terlalu sibuk, namun bisa jadi bukan karena pekerjaannya, tapi karena terlalu banyak pilihan hiburan (baca: distraksi).
Berbeda dengan warga Gaza yang tidak punya opsi lain, kita justru dilimpahi kemudahan tapi malas. Gadget kita punya aplikasi Al-Qur’an, tapi lebih sering terbuka aplikasi reels. Kita punya earphone, tapi lebih sering mendengar musik daripada murattal. Kita punya waktu luang, tapi lebih sering digunakan untuk nonton ketimbang tilawah.

Mengapa ini terjadi? Bisa jadi karena kita melihat Qur’an sebagai beban, bukan kebutuhan. Sebagai kewajiban, bukan nutrisi. Inilah letak masalah mindset kita. Selain sebagai obat hati, Qur’an juga sejatinya GPS kehidupan.
اِنَّ هٰذَا الْقُرْاٰنَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ اَقْوَمُ
Sesungguhnya Al-Qur`ân ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus ….(al-Isrâ`:19)
Qur’an bukan kitab moral belaka. Ia adalah penguat psikologis. Dalam studi Qur’anic Therapy and Mental Health (Dr. Husain, 2021), terbukti bahwa bacaan Qur’an memperkuat ketahanan stres, menstimulasi hormon tenang (oxytocin), dan membantu regulasi emosi. Maka wajar jika Gaza tetap kuat—karena mereka mengkonsumsi wahyu setiap hari.
Lalu kita, dengan semua fasilitas, mengeluh tak sanggup shalat malam, apalagi membuka mushaf. Kita menunggu waktu “spesial” untuk tilawah, padahal Qur’an diturunkan bukan untuk hari istimewa—tapi untuk setiap hari.
Cobalah ubah satu kebiasaan kecil: setiap selesai shalat, baca satu ayat. Hanya satu. Jika bisa lebih, bagus. Jika hanya satu pun, itu sudah awal. Saat scrolling ponsel, sisipkan satu menit membuka aplikasi Qur’an. Biar algoritma ruhani juga ikut bergerak.
Karena ketika nanti hidup terasa sempit, Allah menjanjikan:
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا…
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (QS. At-Talaq: 2)
Gaza telah menunjukkan pada dunia bahwa kemenangan bukan tentang senjata, tapi keteguhan hati. Dari mana sumbernya? Tak lain, bersumber dari kitab ini. Mereka yang ada Al-Qur’an di dalam dadanya adalah senjata spiritual yang bahkan tak bisa dihancurkan oleh F-16.
Jika Gaza bisa membaca Al-Qur’an dalam kelaparan dan reruntuhan, mengapa kita tidak bisa membacanya dalam kenyamanan?
Mungkin hari ini, satu ayat bisa mengubah arah hidup kita. Mungkin satu ayat bisa menyembuhkan satu luka. Tapi semua itu takkan terjadi jika kita tidak memulainya.
Gaza sudah memulai—dari reruntuhan dan kelaparan. Sekarang, giliran kita—di antara kenyamanan.